Episode 002
Maut Bernyayi Di Pajajaran
Maut Bernyayi Di Pajajaran
SATU
Di bawah terik panasnya matahari di siang bolong itu maka bertiuplah angin kencang dan gersang. Debu pasir di pedataran beterbangan ke udara, memekat tebal, menutup pemandangan beberapa saat lamanya.
Suara siulan aneh yang melengking-lengking membawakan lagu tak menentu terdengar di lereng bukit di ujung pedataran. Siulan aneh ini seperti mau menerpa dan menumbangkan hembusan angin gersang yang datang dari pedataran. Tiba-tiba sekali suara siulan aneh ini terhenti! Sebagai gantinya mengumandangkan suara tertawa mengekeh di seantero bukit.
Pemuda berpakaian putih yang ada di puncak bukit saat itu memandang ke samping. Sebelum jelas telinganya menangkap suara tertawa tadi sejenis cairan harum telah melesat ke arahnya. Kalau saja dia tidak cepat-cepat melompat ke belakang pastilah sebagian mukanya kena disambar cairan itu. Cairan yang tak mengenai si pemuda baju putih rambut gondrong ini menghatam pohon besar. Bukan olah-olah hebatnya semburan cairan aneh tadi itu!….
Si pemuda sendiri
kejutnya bukan kepalang. Baru saja setengah harian berjalan tahutahu sudah ada
orang lain yang inginkan nyawanya! Dia memandang ke arah datangnya semburan
cairan aneh tadi. Baru saja dia palingkan kepala mendadak dari atas menderulah
ratusan tetes cairan tadi laksana air hujan yang deras ditiup badai!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku! Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya. Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebarlebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu:
“Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?” Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.
“Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula.
“Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang sekali.
“Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”. Si pemuda itu menjawab.
“Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan:
“Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!” Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“ Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,” kata Dewa Tuak pula.
“Dan rampoknya orang situ-situ juga” Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata:
“Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda:
“Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”. Si pemuda tersenyum.
“Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu…”. Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
“Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…” Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda.
“Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!” Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru:
“Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak” Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang… sayang…,” katanya.
“Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar:
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!” Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya. Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
Pemuda itu berseru nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Ratusan tetes cairan itu muncrat kembali ke atas dan ratusan lagi menyibak ke samping. Daun-daun pohon tembus berlubang-lubang sedang batang-batang kayu seperti kena tusukan paku! Gelak mengekeh menggema lagi di seantero puncak bukit. Anehnya si pemuda belum juga dapat mencari dengan matanya, manusia yang telah mengeluarkan suara tertawa itu. Padahal jelas dekat sekali kedengarannya. Hatinya penasaran sekali. Sambil garuk kepala dia memandang berkeliling. Kedua matanya kemudian tertuju lekat-lekat pada sebatang pohon raksasa yang tinggi menjulang ke langit, mungkin lebih dari tiga puluh meter tingginya. Suara tertawa itu datang dari atas pohon tapi orangnya masih tak kelihatan. Mungkin tertutup oleh daun-daun pohon yang lebarlebar dan lebat.
“Manusia di atas pohon!,” bentak pemuda itu:
“Kalau berani buka urusan, berani unjuk diri!” Sehabis berkata begitu pemuda itu pukulkan telapak tangan kanannya ke atas. Serangkum angin yang dahsyatnya laksana topan melanda pohon raksasa itu. Ranting dan cabang berpatahan. Daun-daun berguguran. Hampir sekejapan mata saja maka pohon raksasa yang menjulang ke langit itu sudah menjadi ranggas gundul! Dan di puncak batang pohon yang masih utuh kelihatanlah duduk seorang laki-laki tua berselempang kain putih. Karena tingginya pohon itu tampangnya tak kentara betul. Tapi jenggotnya yang panjang sampai ke dada dilihat jelas berkibar-kibar ditiup angin gersang dari pedataran. Pada pangkuannya ada sebuah bumbung bambu yang panjangnya sekira satu meter. Bumbung bambu seperti itu masih ada satu iagi tergantung di belakang punggungnya. Dan kedua bumbung bambu itu berisi tuak murni yang harum sekali dan lezat rasanya. Tuak itulah tadi yang telah disemburkannya kepada pemuda yang di bawah pohon! Pukulan tangan kosong si pemuda yang telah meluruhkan cabang-cabang dan daun-daun pohon mau tak mau akan membuat mental si orang tua berjanggut putih diatap pohon. Sekurangkurangnya akan membuat terluka tubuhnya di sebelah dalam. Tapi anehnya saat itu si janggut putih tetap saja duduk enak-enak berpangku kaki di puncak pohon yang gundul itu, bahkan sambil meneguk tuaknya dan tertawa-tawa, seakan-akan tak ada terjadi apa-apa! Bukan main geramnya pemuda itu. Tapi untuk bertindak gegabah dia tidak mau. Manusia tua di puncak pohon tinggi berjanggut putih dengan dua buah bumbung tuak itu pernah diceritakan oleh gurunya waktu dia masih di puncak Gunung Gede. Dia adalah seorang pendekar sakti dari empat puluh tahun yang lalu jarang memperlihatkan diri dan dia adalah golongan persilatan putih, artinya yang mempergunakan ilmu silat dan kesaktian untuk maksudmaksud baik. Tapi mengapa tadi dia telah mempergunakan tuaknya untuk menyerang adalah tidak dimengerti si pemuda rambut gondrong.
“Orang tua!” seru si pemuda. Bibirnya bergetar tanda ucapannya disertai tenaga dalam agar dapat sampai ke puncak pohon raksasa yang tingginya lebih dari tiga puluh meter.
“Kalau aku tidak salah lihat bukankah hari ini aku berhadapan dengan seorang tokoh terkenal di dunia persilatan yang digelari Dewa Tuak?” Orang tua di puncak pohon elus jenggotnya sebentar, teguk tuak lalu tertawa lagi macam tadi.
“Orang muda! Matamu sangat tajam dapat mengenali aku yang sudah delapan puluh tahun ini! Tapi apakah kau mau terima undanganku untuk datang ke puncak pohon ini dan meneguk tuak harum dari Kahyangan bersamaku?” Begitulah. Dewa Tuak menamakan tuaknya dari
“kahyangan”. Memang soal rasa dan harumnya tuak itu sukar dicari tandingan. Si pemuda tersenyum.
“Orang tua, kau baik sekali. Hari ini aku ada keperluan mendesak. Mungkin di lain kali aku bisa terima undanganmu…. Terima kasih atas kebaikanmu dan sungguh senang rasanya dapat kenal dengan seorang tokoh persilatan yang selama ini namanya dikenal di delapan penjuru angini”
“Ah, kau keliwat memuji, orang muda,” jawab Dewa Tuak pula.
“Aku sudah lihat kau sejak dari ujung pedataran gersang sana. Kutunggu kau sampai kesini. Tapi sampai di hadapanku kau menolak undanganku. Mungkin tuakku ini kurang baik? Tidak harum.. .?” Si pemuda berpikir sebentar. Agaknya tak menjadi halangan kalau dia menerima undangan Dewa Tuak dan bicara-bicara dengan orang tua itu di puncak pohon. Mulutnya dikatup rapat-rapat, kedua tangan mengembang ke samping dan kedua kaki menghenjot bumi maka laksana seekor elang melayanglah pemuda itu ke puncak pohon. Puncak pohon itu selebar meja bundar luasnya. Meski tidak beranting dan bercabang serta tak berdaun lagi namun ditempat setinggi itu sejuk juga rasanya.
“Aku terima undanganmu. Dewa Tuak,” kata si pemuda seraya duduk disatu bagian yang menonjol bekas patahan cabang pohon.
“He… he… he…,” Dewa Tuak girang sekali.
“Memang tak ada ruginya menerima undanganku orang muda. Tuak enak, tempat duduk bagus. Seantero daerah sini bisa kau tihat dengan jelas!” Memang ketika duduk di atas pohon itu si pemuda dapat melihat pemandangan indah sejauh mata memandang. Dewa Tuak segera ambil salah satu bumbung tuaknya dan memberikannya pada tamunya.
“Kau biasa minum tuak, anak muda?”. Si pemuda itu menjawab.
“Pernah juga”. Padahal seumur hidupnya baru hari itu dia melihat dan membual serta akan merasakan minuman yang bernama tuak itu. Disambutinya bumbung bambu itu dari tangan Dewa Tuak sementara Dewa Tuak mengambil bumbung yang satu lagi dia masih juga berpura-pura menikmati pemandangan sekelilingnya.
“Ayo orang muda, silahkan minum!”. Dewa Tuak memperbasakan:
“Kau harus tahu, tuakku tuak murni. Kalau belum biasa nanti kau bisa mabuk atau pusing dan menggelinding dari pohon ini!” Si pemuda tertawa. Ditempelkannya bibimya ke tepi bumbung bambu. Sedikit saja tuak itu menjalari tenggorokannya maka seluruh badannya menjadi hangat, pemandangannya menjadi jernih sedang pikirannya terasa tenang!
“Bagaimana rasanya?”.
“Tuakmu betul-betul bagus sekali, orang tua. Tak salah kalau kau namakan tuak dari kahyangan!“ Dewa Tuak tertawa senang.
“Kau ini datang dari mana, anak muda?”.
“Barusan dari Jatiwalu…”.
“Jatiwalu kampung jelek. Banyak rampok…,” kata Dewa Tuak pula.
“Dan rampoknya orang situ-situ juga” Si pemuda berpikir kalau Dewa Tuak tahu apa yang terjadi di Jatiwalu kenapa dia tidak turun tangan? Dewa Tuak agaknya maklum apa yang terpikir oleh si pemuda. Lantas dia berkata:
“Aku malas dan bosan dengan urusan-urusan tengik macam begituan. Karenanya kubiarkan saja apa yang terjadi di kampung itu. Orang kampung sana agaknya tidak mau perduli dengan nasib mereka. Lebih senang ditindas. Nanti keadaan di sana akan baik sendirinya…” Dewa Tuak meneguk tuaknya kembali. Setelah diam beberapa lamanya bertanyalah si pemuda:
“Dewa Tuak, apakah pohon besar ini tempat kediamanmu?”
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Karena kalau betul berarti aku yang muda telah turun tangan semena-mena membuat pohon ini jadi gundul begini! Dan aku harus haturkan maaf kepadamu… !” Dewa Tuak tertawa mengekeh sampai tuaknya berlelehan di tepi mulut.
“Aku senang pada pemuda macammu. Tak percuma satu tahun aku duduk di sini menunggu. Kau cocok buat jodoh muridku!” Dewa Tuak meneguk tuaknya lagi tapi sambil meneguk matanya melirik pada si pemuda. Akan tetapi si pemuda tentu saja kagetnya tiada terkira, mendengar ucapan DewaTuak itu. Mukanya merah karena jengah. Rupanya dunia ini terlalu banyak manusia-manusia aneh, pikirnya. Diteguknya sedikit lagi tuak harum dalam bumbung. Kemudian bumbung bambu itu diserahkannya kepada pemiliknya kembali.
“Dahagaku sudah lepas Dewa Tuak. Tuakmu enak sekali. Aku ucapkan terima kasih dan sekarang aku minta diri untuk meneruskan perjalanan.,..”
“Ah, orang muda, matahari masih belum bergeser, angin masih sejuk dan pemandangan indah masih banyak yang belum kau lihat. Kenapa musti kesusu?”. Si pemuda tersenyum.
“Kurasa sudah cukup. Di lain hari jika ada kesempatan aku yang muda ini pasti akan membalas undangan serta suguhan tuakmu yang enak itu…”. Dewa Tuak letakkan kedua bumbung tuaknya di pungggung. Ditepuknya bahu pemuda itu.
“Kau tak boleh pergi anak muda. Kau musti ketemu dulu dengan muridku. Kau berjodoh dengan dia! Mari kita turun!”. Dewa Tuak menarik lengan si pemuda dan keduanya loncat turun ke tanah laksana dua ekor burung rajawali. Tapi sampai di tanah si pemuda segera lepaskan tangannya yang dipegang dengan halus. Dia menjura hormat:
“Lain kali kita bertemu lagi, Dewa Tuak. Terima kasih atas suguhanmu!” Tapi baru saja si pemuda berlalu beberapa tombak, tubuhnya sudah terhenti dan tertarik ke belakang kembali. Seutas benang sutera halus telah melilit pinggangnya. Ternyata Dewa Tuaklah yang empunya benang itu dan menariknya.
“Anak muda, aku sudah bilang kenapa buru-buru. Kau belum ketemu dengan muridku… Mari…” Kalau bukan berhadapan dengan Dewa Tuak mungkin si pemuda sudah keluarkan semprotan memaki. Namun saat itu dengan menahan hati berkatalah si pemuda:
“Dewa tuak, kita baru saja berkenalan hari ini. Manusia bodoh dan jelek macam aku ini mana pantas dijodohkan dengan seorang murid pendekar besar macam kau! Masih banyak lain orang yang lebih pantas!” Pemuda itu hendak berlalu lagi tapi benang sutera halus itu masih juga meliliti pinggangnya. Meneliti sutera halus itu si pemuda bukan tak mampu untuk memutuskannya. Tapi dia khawatir itu akan membuat Dewa Tuak tidak bersenang hati. Sementara itu didengarnya Dewa Tuak mengeluarkan Suara suitan aneh. Sesosok bayangan ungu muncui di hadapan pemuda itu dan nyatanya adalah seorang gadis berpakaian ungu dan berpita ungu. Metihat paras gadis ini mau tak mau pemuda rambut gondrong itu tertarik juga.
“Orang muda? Kau lihat sendiri. Muridku toh tidak jelek?! Bagaimana…?” Paras si pemuda jengah sekali. Gadis baju ungu lebih lagi. Ditundukkannya kepalanya sampai dagu dan dadanya hampir menempel.
“Muridmu memang cantik Dewa Tuak,” kata si pemuda.
“Tapi tampangku yang terlalu buruk sehingga tidak cocok! Sebaiknya cari pemuda yang dia sukai sendiri. Dewa Tuak. Selamat tinggal!” Habis berkata demikian si pemuda sentil benang sutera yang melilit pinggangnya. Benang itu putus!
“Pemuda geblek! Dikasih perawan malahan kabur!,” maki Dewa Tuak. Dia berseru:
“Hai pemuda! Tunggu dulu! Kau masih belum terangkan nama!”. Orang tua ini keluarkan segulung tali rotan dan dilemparkannya ke arah pinggang pemuda yang tengah larikan diri. Si pemuda yang tahu dirinya hendak dilibat kembali pukulkan telapak tangan kanannya ke belakang. Sesiur angin kencang menderu deras, menahan lontaran tali rotan, terus menyambar ke arah si orang tua. Dewa Tuak terpaksa loncatkan diri ke atas karena maklum angin yang datang menyambar itu bukan angin biasa. Sambaran angin memberantakkan semak-belukar rendah kemudian menghantam pohon kayu besar.
“Krak” Tak ampun lagi pohon raksasa itu tumbang patah dua dengan suara berisiknya hampir terdengar di seluruh lereng bukit. Dewa Tuak geleng-gelengkan kepalanya.
“Sayang… sayang…,” katanya.
“Sayang aku tak dapatkan itu pemuda…”. Ketika dia memasukkan tali rotannya ke balik pakaiannya, orang tua ini terkejut. Pada bagian pohon besar yang masih berdiri di tanah tapi akar-akarnya hampir berserabutan ke luar, kelihatan tertera tiga buah angka 212. Dewa Tuak memandang pada gadis baju ungu disampingnya lalu memandang lagi pada tiga buah angka dibatang pohon dan leletkan lidah kemudian merenung. Tiga deretan angka itu telah menggemparkan dunia persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tiga deretan angka yang berarti maut bagi kaum persilatan itu golongan hitam! Apakah kini angka 212 itu telah muncui kembali?! Dunia persilatan pasti akan gempar seperti masa dua puluh tahun yang lalu! Tapi yang menjadi tanda tanya besar di kepala Dewa Tuak saat itu ialah siapa adanya pemuda gagah tadi. Apakah dia muridnya Eyang Sinto Gendeng? Kalau betul berarti munculnya kembali seorang tokoh gagah dengan gelar:
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…”! Dewa Tuak palingkan kepala pada anak muridnya.
“Anggini! Kau telah lihat kehebatan itu pemuda. Kau musti cari dan kejar dia! Musti dapat! Kalau tidak dapat jangan kembali kepertapaan…”
“Tapi guru…”
“Tidak ada tapi-tapian. Anggini! Kejar pemuda itu. Kau … dengan jalan apa pun musti bisa ambil dia jadi kawan hidupmu karena dia akan menguasai dunia persilatan dalam waktu yang singkat!” Anggini si gadis baju ungu berdiri termanggu.
“Tunggu apa lagi?” tanya gurunya. Gadis ini tak bisa berkata apa-apa lagi melainkan segera meninggalkan tempat itu ke jurusan lenyapnya si pemuda yang telah menerakan angka 212 pada batang pohon!
***
DUA
Sang surya sudah lama
bergeser ke ufuk barat. Warnanya yang tadi demikian terik menyilaukan kini
memudar merah kekuningan seperti tiada sanggup menahan diinya dirampas oleh
kedatangan sore. Sore yang akan dirampas oleh senja dan senja yang akan
bertekuk lutut di pintu malam. Jalan yang ditempuh pemuda itu semakin sukar.
Berliku dan menanjak. Di kiri kanan senantiasa mengapit batu karang putih yang
tiada berubah dari zaman ke zaman atas kerasnya. Mendadak dari puncak batu
karang di sebelah timur melengking suara suitan aneh yang menusuk sepasang
gendang-gendang telinga si pemuda. Dengan waspada pemuda ini putar kepala dan
mendongak ke atas. Puncak karang itu tingginya sekira dua puluh lima tombak.
Curam dan terjal sukar didaki. Tapi mata si pemuda yang tajam dapat melihat
bekas cungkilan-cungkilan pada sepanjang lereng karang mulai dari bawah sampai
ke atas. Cungkilan-cungkilan itu merupakan tangga penolong. Meski demikian,
jangan harap manusia biasa bisa mempergunakannya. Sekali tergelincir tubuh akan
amblas ke bawah, ditunggu oleh unggukan batu karang runcing!
Suara suitan aneh itu
terdengar lagi lebih keras dan nyaring dari yang pertama. Dan sesaat mata si
pemuda berputar kembali ke puncak batu karang itu dia terkejut melihat
kemunculan seorang tua bermuka brewok yang kaki kanan dan tangan kanannya
buntung. Anggota badan yang buntung ini disambung dengan kayu. Pada ujung kayu
dari lengan menancap sebuah benda berbentuk arit yang bergemerlap ditimpa sinar
matahari di ambang sore itu! Di tangan kirinya ada sebuah tongkat biru dari
besi murni. Karena puncak karang di mana manusia berewok ini berdiri tinggi
sekali maka si pemuda tak dapat mengenali dengan jelas potongan muka orang ini,
apalagi tertutup berewok. Hanya samar-samar bisa dilihatnya bahwa manusia ini
adalah seorang tua yang bertampang angker. Melihat kepada berewok yang memenuhi
mukanya keraslah hati si pemuda bahwa dia sudah dekat ketempat tujuannya.
Mungkin juga sudah sampai. Dipandang tajam-tajam demikian rupa, si muka angker
berewok juga memandang pada si pemuda secara tajam menyorot. Tapi sebegitu jauh
tidak buka suara. Si pemuda yang menjadi tak sabar lambaikan tangan dan menjura
hormat sedikit.
“Orang tua, aku yang
muda ini mau tanya apakah ini jalannya ke Gua Sanggreng?!”. Orang yang ditanya
kerutkan kening.
“Bocah gondrong,
apakah kau yang dijuluki Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?!”. Pemuda yang
berada di bawah batu karang terkejut sekali. Siapakah orang tua berewok bermuka
angker ini? Apakah guru atau kakak seperguruannya Bergola Wungu yaitu musuh
yang telah mengundangnya untuk datang ke Gua Sanggreng?.
“Aku merasa tak ada
orang yang menjuluk demikian, orang tua…!,” menyahuti si pemuda yang tak lain
dari Wiro Sableng adanya. . Si muka berewok masih memandang menyorot pada
pemuda itu. Memang adalah tak dapat dipercayanya kalau pemuda ini adalah
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 karena angka 212 telah menggetarkan dunia
persilatan pada dua puluh tahun yang lalu. Tapi ciriciri yang diterangkan
muridnya tentang pemuda ini cocok betul. Akhirnya si berewok bersuit lagi. Kali
ini suara suitannya lain dari dua kali tadi. Dan sesaat kemudian muncullah
sosok tubuh berpakaian hitam. Orang ini mukanya juga berewok dan Wiro dapat
mengenalinya sebagai orang yang dulu telah menantangnya yaitu Bergola Wungu!
Kini dia yakin bahwa si kaki buntung itu punya sangkut-paut erat dengan Bergola
Wungu. Dari bawah dilihatnya kedua orang itu bercakap-cakap sedang si buntung
sekali-kali menunjuk-nunjuk dengan tongkat birunya ke arah Wiro. Tiba-tiba
mengumandanglah tawa bergelak dari si kaki buntung. Daerah sekitar situ seperti
dirobek oleh suara tertawanya. Sambil tertawa diketuk-ketukkannya tongkat di
tangan kirinya ke atas batu karang. Batu karang itu bergetar dan bagian yang
kena ketuk lebur menjadi pasir! Kemudian kedua mata orang tua buntung itu
kembali memandang tajam pada Wiro Sableng.
“Kalau kau bukan
Pendekar 212 palsu pastilah kau muridnya si Sinto Gendeng…: Ah, kiranya kau tak
ubah seperti bocah-bocah ingusan lainnya. Tak ubah seperti gurumu sendiri! Bego
dan keblinger…!”
“Jaga mulutmu, orang
tua!,” bentak Wiro marah karena gurunya dimaki. Tapi diamdiam dia juga heran
kalau si muka berewok yang satu ini tahu nama gurunya. Melihat kepada umur
mungkin kira-kira dia seumur dengan Eyang Sinto Gendeng. Berewok buntung itu tertawa
lagi. Tongkatnya diketuk-ketukkannya lagi.
“Muridku Bergola
Wungu bicara terlalu hebat tentang kau. Tapi setelah berhadapan muka nyatanya
kau hanya kosong melompong! Tadinya mendengar kematian tiga muridku aku ingin
mengajaknya bertempur sampai seratus jurus. Hendak kupecahkan kepalanya dengan
tongkat biru besi murni ini! Tapi nyatanya dia adalah seorang bocah pitit,
masih pantas ngempeng! Pakai baju pun belum becus! Pendekar potongan macammu
ini sekali aku ayunkan tongkat saja pasti sudah kelojotan!” Panas hati Wiro
Sableng tiada terkirakan. Darah mudanya menggeru dalam pembuluhnya.
“Orang tua!,”
serunya.
“Bicaramu terlalu
sombong! Apakah kau tahu bahwa semut itu sanggup mengalahkan gajah? Apakah kau
juga tahu bahwa manusia itu bisa terpeleset oleh sebutir batu kecil
berlumut…?!” Si berewok kaki buntung tertawa dingin.
“Barangkali kau belum
tahu kebalikan ucapanmu itu, orang muda! Tahukah kau bahwa semut itu sekali
dipijak oleh gajah akan mejret amblas ke dalam tanah?! Tahukah kau kerikil
kecil itu kalau ditendang akan mental jauh tiada daya?” Wiro Sableng keluarkan
suara mendengus dari hidung.
“Kadangkala manusia
keliwat pintar jadi bicara terbalik-balik macam kau!,” sahutnya.
“Tapi tak apa… aku
tak ada urusan dengan kau. Biar aku bicara dengan Bergola Wungu!”. Si orang tua
tertawa berkekeh.
“Jangan sebut soal
tak ada urusan, geblek! Muridku mati tiga orang…”
“Bukan aku yang
bunuh…!”.
“Tapi kau turut
bertanggung jawab!” Menukas Bergola Wungu.
“Buset!,” kata
Wiro.”Di depan hidung gurumu kau bisa buka bacot keras Bergola! Aku sudah
datang untuk menerima tantanganmu!” Bergola Wungu tertawa mengejek.
“Ini bukan Gua
Sanggreng, Wiro! Bukan di sini ajalmu harus kau pasrahkan!”
“Keren betul kau
Bergola! Manusia kalau sudah lupa nasib memang persis macam kau! Kau tahu bahwa
kau dulu anak kampung Jatiwalu kentut?! Yang sekarang punya sedikit ilmu lantas
jadi kepala rampok! Tapi lantas menantang aku dengan lari kepada gurunya? Kalau
aku jadi kau lebih baik terjun dari atas puncak karang itu ke bawah, mampus
bunuh diri!” Merah muka Bergola Wungu sampai ke telinga dan ke kuduk. Mulutnya
terkatup rapat. Gerahamnya bergemeletakkan. Namun tak ada suara jawaban dari
dia. Maka berkatalah si berewok tua kaki buntung.
“Bocah 212, karena
kau bicara begitu congkak tentu kau punya sedikit ilmu yang diandalkan. Aku
yang sudah tua ingin sekali bertukar pengalaman!”. Wiro Sableng tertawa-tawa.
“Kau yang sebenarnya
congkak orang tua! Apakah umurmu yang sudah bangkotan itu masih belum cukup
puas untuk melakukan pertempuran? Tapi kalau kau berkeras hati mau iseng-iseng
tukar pengalaman katamu, aku yang muda tidak keberatan….” Wiro gosok-gosokkan
telapak tangannya satu sama lain
“Tapi aku ingin tahu
nama dan siapa kau lebih dahulu.:..”. Si orang tua kembali tertawa macam tadi
yang menggetarkan seantero daerah batu karang itu.
“Aku adalah penghuni
Gua Sanggreng yang sudah empat puluh tahun malang melintang dalam rimba
persilatan! Kau dengar itu bocah? Dan kalau kau perlu tahu namaku… akulah yang
bernama Bladra Wikuyana Angin Topan Dari Barat!”.
Tentu saja Wiro
Sableng terkejut mendengar nama asli serta nama julukan si berewok kaki buntung
itu karena dari gurunya dia mengenai bahwa Angin Topan Dari Barat adalah satu
tokoh persilatan sakti yang memimpin sebuah perguruan di Jawa Barat, yang
namanya cukup tenar tapi dicurigai adalah kaki tangan golongan hitam (golongan
jahat). Namun demikian pemuda ini sama sekali tidak unjukkan paras kecut.
Malah dia tertawa bergelak:
“Julukanmu hebat
juga, orang tua! Tapi setahuku angin itu hanyalah satu benda kosong belaka dan
berbau busuk bila ke luar dari pantat!” Bladra Wikuyana bersuit marah.
“Bocah setan! Kau
berani kurang ajar terhadap Angin Topan Dari Barat! Terima ini…!”.
“Wuuuuuutt”! Tongkat
birunya disapukan ke bawah! –
***
TIGA
Angin sedahsyat topan
melanda Pendekar 212. Pemuda ini balas dengan hantaman tangan ke udara
mengirimkan putaran lengan yang mengandung serangkum angin puyuh! Hal yang
hebat sekali terjadilah. Dua pukulan angin yang sama mengeluarkan suara
mengaung itu begitu bentrokkan menimbulkan letupan udara yang kerasnya bukan
kepalang. Bukit-bukit dan puncakpuncak, karang bergetar. Semak-belukar dan
pohon-pohon rambas ke tanah. Pukulan angin puyuh Wiro Sableng telah membuyarkan
pukulan angin topan dari tongkat Bladra Wikuyana. Namun demikian Wiro Sableng
masih kena juga diterpa kipratan angin pukulan lawan sehingga sesaat tubuhnya
menjadi limbung huyung! Bladra Wikuyana terbeliak kaget. Hantaman tongkat
birunya tadi telah mempergunakan hampir sepertiga bagian tenaga dalamnya. Dia
sudah memastikan kalau tidak mampus pastilah sekurang-kurangnya pemuda itu
kelojotan muntah darah! Tapi kepastiannya itu tidak berkenyataan. Di bawahnya
Wiro Sableng ditihatnya masih berdiri utuh! Maka berserulah Bladra Wikuyana:
“Orang muda! Ilmumu
cukup bagus untuk diandalkan! Aku tunggu kau di Perguruan Gua Sanggreng!” Habis
berkata begitu manusia ini menarik lengan Bergola Wungu. Sekejapan saja guru
dan murid itu lenyap dari pemandangan Wiro Sableng. Si pemuda garuk kepala.
“Tongkat itu hebat sekali!,”
katanya dalam hati. Tapi dia tak menunggu lebih lama. Segera dia lompatkan diri
ke atas puncak karang yang tingginya puluhan tombak itu. Puncak karang itu
ternyata licin sekali. Kalau saja ilmu meringankan tubuhnya dari kelas rendahan
pastilah kakinya akan tergelincir! Wiro memandang berkeliling mencari jejak ke
mana larinya kedua orang tadi. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan
Bladra Wikuyana dan muridnya di balik karang sebelah Timur. Tanpa buang waktu
Pendekar 212 segera lompat ke karang yang terdekat. Laksana seekor rajawali
demikianlah dia melompat kian kemari sampai akhirnya orang yang dikejamya itu
lenyap di sebuah jurang batu karang yang dalam sekali! Wiro berdiri di tepi
jurang batu itu, memandang ke bawah. Untuk melompat turun tidak mungkin. Jurang
itu dalamnya lebih dari seratus tombak. Berarti tidak mungkin pula Bladra
Wikuyana dan Bergola Wungu lenyap turun ke jurang batu itu. Tapi tiba-tiba Wiro
melihat sebuah tangga tali yang kuat di tepi jurang sebelah Selatan. Segera dia
menuju ke sana dan memeriksa tangga tali itu. Dia berpikir sebentar, kemudian
dengan cepat menuruni tangga tali. Bagian bawah jurang batu itu hampir
merupakan pedataran batu yang sedikit sekali tetumbuhannya. Penuh waspada
Pendekar 212 segera memeriksa keadaan. Tiba-tiba menggema suara suitan dari
arah Utara yang dibalas pula oleh suara suitan dari arah barat. Wiro segera
menuju ke Barat! Sementara itu di atas jurang, sesosok tubuh yang sudah sejak
lama menguntit Wiro Sableng hentikan langkahnya dekat tangga tali, tak berani
terus ikut menuruni tangga tali itu. Wiro berdiri di balik sebuah batu karang
berbentuk pilar. Sekurang-kurangnya batu karang itu bisa menjadi tameng baginya
dari musuh yang menyerang dengan diam-diam. Dari balik batu berbentuk pilar ini
dia memandang ke muka. Tepat di antara dua batang kayu besar yang sangat rendah
maka beberapa puluh tombak di mukanya dilihatnya sebuah gua besar. Kemudian
didengarnya lagi suara suitan. Kali ini dari sebelah belakangnya. Suitan ini
disambut oleh suitan yang menggema ke luar dari dalam gua. Pemuda ini menunggu
dengan tidak sabar. Ke mana perginya kedua orang tadi? Apakah masuk ke dalam
gua itu? Dan apakah gua Itu yang bernama Gua Sanggreng? Lalu apakah saat itu
dia sudah berada di Perguruan Gua Sanggreng? Tiba-tiba terdengar suara suitan
yang lebih hebat dari suitan-suitan tadi. Dan Wiro melihat dari mulut gua ke
luar dua lusin manusia, semuanya laki-laki, ada yang berewokan ada yang tidak
dan semuanya mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang kain putih. Pada
pinggang masing-masing tersisip sebatang tongkat biru yang sama bentuknya
dengan milik Bladra Wikuyana. Keduapuluh empat orang itu membentuk dua barisan
panjang mulai dari mulut gua sampai ke pelataran batu. Tak lama kemudian
muncullah Bladra Wikuyana diiringi oleh Bergola Wungu.
“Pendekar Kapak Naga
Geni 212 tak usah sembunyi di balik pilar! Keluarlah!,” seru Bladra Wikuyana.
Pemuda itu segera ke luar dari balik tiang batu karang dan berdiri waspada di
ujung pelataran.
“Angin Topan Dari
Barat! Sandiwara atau tari-tarian apakah yang akan kau pertunjukkan kepadaku?!”
Bladra Wikuyana tertawa hambar.
“Dasar manusia tolol!
Ajal sudah di depan mata masih juga mau jadi badut! Tahukah kau bahwa
siapa-siapa yang sudah masuk ke mari berarti tak ada lagi jalan keluar! Berarti
mampus di sini?!”. Wiro Sableng menyengir. Katanya:
“Kalau begitu kalian
semua di sini juga samasama ikut mampus dengan aku!”. Kembali Bladra Wikuyana
tertawa hambar. Ditepukkannya kedua tangannya.
“Turunkan tangga
tali,” perintahnya. Dua orang anak murid Perguruan Gua Sanggreng segera
melaksanakan tugas itu.
Bladra Wikuyana
berkemik.
“Tangga tali telah
diturunkan berarti umurmu semakin singkat. Tapi ada syarat jika kau kepingin
hidup terus…”
“Apa?” tanya Wiro
Sableng kepingin tahu.
“Berlutut minta ampun
di hadapanku dan bergabung denganku!”. Wiro Sableng tertawa meledak.
“Muridmu Bergola
Wungu menantang aku datang kemari untuk bertempur! Tahutahu kini diajak
bergabung, disuruh berlutut malah! Enak betul bikin aturan…!”
“Kalau begitu kau
datang ke sini betul-betul untuk antarkan jiwa!” kata Bladra Wikuyana pula.
Habis berkata begini dia bertepuk tangan satu kali.
“Bereskan dia dengan
gebrakan enam tongkat merenggut nyawa!” bentak Bladra Wikuyana dengan geram
sekali. Maka enam orang muridnya segera melompat mengurung Pendekar 212 dengan
tongkat di tangan.
“Ketahuilah:..” kata
Bladra Wikuyana pula.
“Yang akan kalian
hajar itu adalah seorang bocah yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212! Mulai!” Bladra Wikuyana bersuit keras. Keenam muridnya juga bersuit
keras dan dengan serentak menyerang Wiro Sableng! Enam larik sinar biru
mengambang di udara kian ke mari dalam gerakan yang sangat tak menentu,
mengeluarkan suara bersiuran dan kesemuanya menyerang pendekar bertangan kosong
itu. Wiro lompat ke udara dan berteriak:
“Angin Topan Dari
Barat! Kerapa anak muridmu yang tak ada sangkut paut dengan aku kau suruh.maju?
Apa kau tidak punya nyali?!”. Biadra Wikuyana menyahut dengan membentak:
“Kalau kau ada urusan
dengan salah seorang di sini berarti kau berurusan dengan Perguruan Gua
Sanggreng…!” Saat itu keenam murid Perguruan Gua Sanggreng melompat pula ke
udara dan menyerang Wiro Sableng dengan sebat. Tapi dengan pergunakan jurus:
Belut Menyusup Tanah, maka Pendekar 212 yang diserang oleh mereka telah berdiri
di pelataran batu kembali. Maka bentrokkanlah enam tongkat biru itu di udara!
“Tolol,” makl Bladra
Wikuyana pada murid-murudnya:
“Aku beri kesempatan
tiga jurus lagi pada kalian! Kalau tak berhasil merubuhkan bangsat itu kalian musti
mundur dan terima hukuman!”. Ternyata gebrakan enam tongkat merebut nyawa yang
dikeluarkan enam murid Perguruan Gua Sanggreng tadi tidak mampu merubuhkan
Pendekar 212. Kini karena takut terima hukuman dari guru mereka, keenamnya
segera putar tongkat dengan sebat dan lancarkan enam tusukan pada enam bagian
tubuh Wiro Sableng!
“Ciaaat!” Bentakan
dahsyat menggema dan menggetarkan jurang batu itu. Bulu-bulu tengkuk anak-anak
murid Perguruan Gua Sanggreng meremang, bukan saja oleh kedahsyatan bentakan
tadi tapi juga menyaksikan bagaimana enam kawan mereka kini berdiri kaku tegang
di tengah pelataran karena tubuh masing-masing sudah kena ditotok lawan. Sedang
Pendekar 212 berdiri saat itu berdiri tenang-tenang bahkan bersiul-siul! Rasa
tak percaya membuat Bladra Wikuyana buka matanya lebar-lebar. Dan hatinya
merutuk. Tiba-tiba dicabutnya tongkat birunya dari pinggang dan disapukannya ke
muka. Keenam tubuh muridnya berpelantingan laksana daun kering tapi sekaiigus
angin topan dashyat yang keluar dari tongkat ampuh itu telah melepaskan
keenamnya dari totokan! Kemudian Pemimpin atau Ketua Perguruan Gua Sanggreng
itu berkata pada Bergola Wungu:
“Kau majulah, pimpin
semua muridku yang ada di sini! Bentuk-lingkaran pasang surut!”. Mendengar ini
Bergola Wungu segera melangkah ke muka seraya cabut golok panjang dan bersuit
keras tiga kali berturut-turut. Maka dua puluh empat manusia berpakaian
hitam-hitam dengan tongkat di tangan di bawah pimpinan Bergola Wungu yang
memegang golok panjang segera membentuk dua lapis lingkaran yang disebut
lingkaran pasang surut, mengurung Wiro Sableng di tengah-tengah. Gilanya, yang
mau diserang malah tetap berdiri tenang-tenang, kemak kemik dan sambil
bersiul-siul. Tiba-tiba Bergola Wungu bersuit nyaring. Maka berputarlah barisan
lingkaran yang sebelah dalam ke kiri sedang barisan lingkaran sebelah luar
berputar ke kanan. Mula-mula lambat pelahan kemudian makin lama makin kencang,
makin kencang sampai tubuh kedua puluh empat. manusia berpakaian hitam itu
tidak jelas iagi, hanya merupakan bayang-bayang. Debu yang menutupi pelataran
menggebu ke atas dan sambil berputar-putar itu Bergola Wungu dan kawankawannya
tiada henti berteriak melengking-lengking. Karena putaran dua barisan lingkaran
itu makin cepat dan saling berlawanan serta diiringi lengking pekik hiruk pikuk
yang memekakkan dan mengacaukan pikiran lambat laun kedua pandangan mata
Pendekar 212 menjadi berkunang. Kepalanya terasa pusing. Dia tertegun beberapa
jurus lamanya. Dan dua baris lingkaran itu kini kelihatan semakin menciut mendekatinya!
Bergola Wungu melihat lawan muiai terpengaruh dengan bentakan lantang menyerbu
dan tebaskan goloknya ke kepala lawan yang terkurung ditengah lingkaran.
Serangan ini datangnya secara pengecut yaitu dari belakang! Dan Wiro Sableng
dalam tertegunnya itu masih juga bersiul-siul seperti orang lupa diri!
***
EMPAT
Dia hanya merasakan
datangnya sambaran angin dari arah belakang. Lalu cepat-cepat menggeser kaki ke
muka, bergerak ke samping dan sambil bungkukkan diri balikkan badan! Golok
panjang Bergola Wungu lewat satu setengah jengkal di atas kepalanya,
mengibarkan rambutnya yang gondrong!
“Dasar pengecut!
Sudah main keroyok menyerang dari belakang!,” bentak Wiro Sableng. Kedua
tangannya bergerak ke muka untuk merampas golok lawan. Namun hampir hal itu
terlaksana, tahu-tahu dua belas ujung tongkat menderu menyerang kedua
lengannya.
“Sialan!” maki
Pendekar 212 dan terpaksa tarik pulang tangannya sambil hantamkan kaki membabat
ke arah beberapa orang pengeroyok dari barisan sebelah muka. Mereka yang diserang
tendangan kaki anehnya tidak melakukan sesuatu apa, tapi tiba-tiba dari
belakang menyeruak kawan-kawan mereka dari barisan kedua, dan menangkis
tendangan Wiro Sableng. Sejurus kemudian barisan muka kembali menyerang dengan
dua belas tongkat biru mengarah pada dua belas bagian tubuh Wiro Sableng!
Sementara itu dari atas laksana alap-alap golok Bergola Wungu kembati membabat!
Ini lah kehebatannya lingkaran pasang surut! Ciptaan Bladra Wikuyana! Dua tahun
dia melatih murid-muridnya untuk betul-betul memahami jurus tersebut. Meski
belum begitu sempurna tapi hasilnya tidak mengecewakan! Sambil senyumsenyum dia
berdiri menunggu saat di mana matanya akan menyaksikan tubuh Wiro Sableng
terpancung belasan senjata muridnya, telinganya bakal mendengar pekik kematian
pemuda itu! Tapi tiada kelihatan, Pendekar 212 terpancung meregang nyawa di
tengah pelataran itu! Tiada terdengar pekik kematian Wiro Sableng! Dengan
kecepatan luar biasa yang tiada terlihat oleh mata Bladra Wikuyana maka
tahu-tahu Wiro Sableng sudah berada di luar serangan anakanak muridnya, berdiri
dengan tenang dan kembali bersiul-siul! Sebenamya pemuda bermata tajam ini
sudah dapat melihat di mana letak kelemahan barisan lingkaran pasang surut yang
mengeroyoknya saat itu. Dengan merobohkan dua atau tiga orang pengeroyok dari
salah satu barisan maka pastilah lingkaran pasang surut itu akan menjadi kacau
balau! Bisa juga sebagian atau seluruh pengeroyoknya ditumpasnya dengan
hantaman pukulan angin puyuh atau dinding angin berhembus tindih menindih! Tapi
ini pemuda inginkan cara lain yang lebih disukainya sendiri. Maka berserulah
Pendekar 212.
“Angin Topan Dari
Barat! Apakah kau pernah iihat manusia dipakai jadi senjata untuk menyerang
manusia…?!”
“Bocah gila! Jangan
banyak bacot! Nyawamu sudah di depan hidung! Anak-anak ciutkan lingkaran dalam
sepertiga jurus!,” teriak Bladra Wikuyana dengan penasaran sekali. Siulan
Pendekar 212 tiba-tiba lenyap berganti dengan suara tertawa aneh yang
menegakkan bulu tengkuk. Tubuhnya berkelebat tak kelihatan. Dan tiba-tiba pula
Bergola Wungu merasakan kedua pergelangan kakinya dicengkeram erat sekali.
Dicobanya untuk meronta dan menendang tapi cengkeraman itu laksana japitan besi
tak mungkin untuk di1epaskan. Sementara itu tubuhnya menjadi limbung dan terasa
terangkat ke atas! Dicobanya membabatkan goloknya! Terdengar satu pekikan!
Pekikan kawannya sendiri yang, kemudian roboh mandi darah! Sesudah itu Bergola
Wungu tak tahu apa-apa lagi! Wiro Sableng dengan tertawanya yang aneh memegang
erat-erat kedua pergelangan kaki Bergola Wungu lalu memutar tubuh manusia itu
laksana kitiran! Pekik jerit serta seruan-seruan tertahan terdengar di
mana-mana! Barisan lingkaran pasang surut hancur berantakan. Beberapa orang
yang masih tak mau menyingkir dan terpukau oleh kedahsyatan itu terpaksa
dihantam kitiran dari tubuh Bergola Wungu! Belasan anak murid Perguruan Gua
Sanggreng bergeletakan di pelataran batu karang dalam keadaan tubuh luka-luka
parah tanpa nyawa. Suara erangan terdengar tiada hentinya. Yang masih hidup
yaitu sekira sembilan orang menyingkir jauh-jauh ke dinding batu karang. Suara
tertawa Pendekar 212 berhenti.
“Angin Topan Dari
Barat! Ini terima bangkai muridmu!”. Tubuh Bergola Wungu yang tadi dibuat
menjadi kitiran untuk melabrak kawan-kawannya sendiri melesat ke arah Bladra
Wikuyana. Orang tua ini lambaikan tangan kirinya dan tubuh Bergola Wungu
terpelanting ke dinding samping. Tentu saja sudah tanpa nyawa lagi karena sudah
sejak tadi kepalanya nyenyar macam pepaya busuk! Bau anyirnya darah yang
mengantarkan regangan-regangan nyawa manusia menyesak lobang hidung. Wiro
Sableng meludah ke tanah. Dan memandang pada Angin Topan Dari Barat.
“Angin Topan Dari
Barat! Murid-muridmu menemui kematian dengan cara yang tentu kau tidak senangi!
Dan mereka mati tanpa ada sangkut-paut kesalahan apa-apa terhadapku! Kau yang
tanggung-jawab semuanya kalau malaekat maut tertanya di liang kubur!”
“Pemuda iblis!”
bentak Bladra Wikuyana.
“Tak usah banyak
bacot! Terimalah kematianmu dalam tiga jurus!”. Tampang manusia ini kelihatan
membesi dan tambah angker. Dia melangkah ringan ke hadapan Wiro Sableng dan
cabut tongkat birunya! Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan selarik sinar biru
melanda Pendekar 212. Pemuda ini egoskan diri ke samping dengan cepat. Tapi
dari samping menderu tangan kanan Bladra Wikuyana yang disambung -dengan kayu
dan ujungnya mempunyai senjata berbentuk Arit!
“Heyyaaa!”. Pendekar
212 membentak keras. Empat dinding jurang tergetar hebat. Tubuhnya lenyap dan
sambil jatuhkan diri berjongkok pemuda ini hantamkan tangannya ke muka
lancarkan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi tongkat biru Bladra Wikuyana
sungguh hebat! Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkan Pendekar 212
mempergunakan sebahagian tenaga dalamnya namun sambaran angin tongkat biru
membuat angin pukulan Pendekar 212 tersibak ke samping dan menghantam dinding
karang! Dinding karang itu retak-retak pecah! Kepingan-kepingan karang
menghambur ke udara berpelantingan! Wiro Sableng penasaran sekali. Tenaga
dalamnya dilipat-gandakan sampai tangannya tergetar hebat namun tetap pukulan
Kunyuk Melempar Buah yang dilancarkannya masih sanggup disapu oleh angin
tongkat biru lawan!
“Edan!” maki pemuda
ini dalam hati. Dia menjerit setinggi langit dan berkelebat lagi. Kini Pendekar
212 keluarkan jurus Orang Gila Mengebut Lalat! Kedua tangannya kiri kanan
memukul kian kemari dan mengeluarkan angin keras laksana badai! Untuk dua jurus
lamanya Bladra Wikuyana terdesak hebat bahkan kepepet ke dinding jurang sebelah
Timur. Anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng yang ada di jurusan ini terpaksa
menyingkir kecuali kalau mau mampus terkena sambaran-sambaran angin dahsyat
kedua manusia sakti yang bertempur itu! Angin Topan Dari Barat mengeluh dalam
hati! Puluhan tahun hidup di dunia persilatan baru hari ini menghadapi lawan
yang tangguhnya bukan olah-olah! Dan gilanya lawan itu adalah anak muda hijau
yang baru berumur tujuh belas tahun! Orang tua ini kertakkan gerahamnya. Dari
tenggorokkannya keluar suitan kencang. Dengan serta merta permainan tongkat dan
jurus-jurus silatnya berubah. Tongkat biru di tangan kirinya menderu dan
mencurah taksana hujan badai, laksana menjadi ratusan banyaknya! Wiro Sableng
terkejut sekali melihat keganasan serangan tawan ini! Cepat dia lompat tiga
tombak ke udara.
“Ho-ho! Mau kabur
hah?!” bental Bladra Wikuyana. Dan segera manusia ini susul melompat.
“Angin Topan Dari
Barat!,” seru Pendekar 212.
“Antara kita
sebenarnya tak ada permusuhan yang berarti…”. Bladra Wikuyana tertawa buruk.
“Ketika nyawa sudah
di tenggorokan kau baru ribut-ribut segata permusuhan yang tak berarti! Sudah
kepepet-mulai bicara rendah diri! Sebaiknya sebut nama Tuhanmu sebentar tagi
roh busuk manusia yang mengaku bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 akan
minggat ke neraka!” Bladra Wikuyana menyerang lagi dengan ganas membuat Wiro
Sableng kembali terpaksa lompatkan diri tiga tombak ke belakang.
“Kalau kau yang tua
tetap berkeras kepala maka sambutlah pukulanku ini!” Bladra
Wikuyana terbeliak kaget ketika melihat tangan kanan Wiro Sableng berwarna
sangat putih sedang kuku-kuku jarinya memerah menyilaukan!
“Pukulan Sinar
Matahari!” teriaknya dengan keras. Sekaligus dia menyerukan pada murid-muridnya
untuk mencari perlindungan sedang seturuh tenaga dalamnya dialirkannya ke
tongkat biru! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata melesat ke depan.
Bladra Wikuyana lompat ke udara sampai tujuh tombak dan sapukan tongkatnya ke
bawah! Dua angin keras beradu hebat. Bladra Wikuyana berseru keras. Tongkatnya
hampir terlepas mental sedang tangan kirinya tergetar hebat! Tiada nyana tenaga
dalam lawan yang muda belia itu lebih tinggi beberapa tingkat dari padanya.
Dengan jungkir balik di udara jago tua ini jauhkan diri untuk atur jatan nafas
serta darahnya dengan cepat! Ketika bola matanya berputar memandang berkeliling
terkejutlah ia! Seluruh sisa anak muridnya yang tadi masih hidup menggeletak
bergelimpangan dipelataran batu karang itu. Tubuh mereka semuanya termasuk yang
sudah menemui ajal lebih dahulu di tangan Wiro Sableng mengepulkan asap dan
udara dalam jurang itu kini pengap bau daging manusia yang hangus! Ketika
Pendekar 212 lepaskan pukulan sinar matahari tadi. Bladra Wikuyana berhasil
mengelakkannya. Angin pukulan menghantam dinding karang di sebelah tenggara.
Bukan saja dinding karang itu menjadi pecah tapi juga hancur berantakan. Bagian
atasnya longsor ke bawah sedang pukulan Sinar Matahari memantul dua kali
berturut-turut di dinding karang. Hawa panas angin pukulan ini telah melabrak
sisa-sisa anak murid Bladra Wikuyana sehingga tubuh mereka tersambar hangus dan
menggeletak mati di situ juga! .Dan sementara itu di tepi jurang sebelah atas,
sesosok tubuh berpakaian ungu menyaksikan apa yang terjadi di dalam jurang batu
karang itu dengan mulut menganga dan mata terbeliak sedang bulu kuduk
merinding…. Kembali ke dalam jurang. Air muka Bladra Wikuyana kelihatan kelam
membeku. Tubuhnya laksana patung berdiri di tengah pelataran. Cambang bawuk
atau berewoknya kelihatan meranggas kaku sedang sepasang matanya menjadi merah
angker.
“Pendekar 212!” desis
Bladra Wikuyana.
“Detik ini jangan
harap nyawamu akan selamat…!” Tongkat birunya diacungkan ke muka lurus-lurus
dan kini tongkat itu berubah menjadi hitam legam. Sinar hitam yang memancar
dari senjata ampuh Itu menggidikkan sekali…
“Bersiaplah untuk
minggat ke neraka!” teriak Bladra Wikuyana. Serentak dengan itu menyerbulah dia
ke muka. Seluruh bagian tenaga dalamnya telah mengalir ke dalam tongkat dan
serangannya kini luar biasa ganasnya! Sambil menyerang itu Bladra Wikuyana
tiada hentinya bersuit-suit aneh, menggetarkan telinga dan raga! Wiro Sableng
begitu merasakan tekanan serangan yang hebat luar biasa segera percepat
gerakannya. Namun ilmu mengentengi tubuhnya yang sudah sangat tinggi itu masih
sangat terasa lamban ditindih oleh sinar pukulan Angin Hitam yang ke luar dari
tongkat lawan.
“Breet”! Tersirap
darah Pendekar 212. Nyawanya serasa iepas! Ujung tongkat lawan telah merobek
pakaiannya di bagian dada. Angin tongkat membuat tulang-tulang dadanya seperti
melesak! Pendekar ini berteriak nyaring dan jungkir balik ke belakang ke luar
dari kalangan pertempuran!
***
LIMA
“Ho ho…. Mau merat ke
mana?!” tanya Bladra Wikuyana.
“Aku sudah bilang,
sekali masuk ke sini musti lepas nyawa di sini!” Wiro Sableng tak berikan
sahutan. Kalau saja ada sepuluh manusia jahat sesakti Bladra Wikuyana ini di
atas jagat pastilah dunia akan tenggelam dalam kekalutan pikirnya. Ketika lawan
menyerang kembali Pendekar 212 sambut dengan pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera. Untuk beberapa ketika lamanya serangan tongkat Bladra Wikuyana
terbendung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro Sableng untuk melompat ke
udara, menukik kembali dan lancarkan pukulanKunyuk Melempar Buah.
Dentuman yang dahsyat terdengar. Wiro terpaksa turun ke pelataran batu karang
kembali karena pukulannya kena disapu aliran angin hitam tongkat lawan. Pemuda
ini kepepet ke dinding jurang sebelah Timur! Pemuda ini merutuk sendiri dalam
hatinya. Dalam merutuk itu tongkat lawan menyapu di atas kepalanya. Wiro lompat
ke samping. Tongkat menghantam dinding karang sampai hancur berantakan! Ketika
Bladra Wikuyana balikkan tubuh siap untuk menyerang kembali, langkahnya
tertahan. Kedua matanya yang merah memandang tak berkedip pada senjata
berbentuk kapak bermata dua yang ada di tangan lawannya. Bergidik juga Angin
Topan Dari Barat melihat senjata tersebut. Dua puluh tahun yang silam dia
pernah saksikan sendiri kehebatan Kapak Maut Naga Geni 212. Kini apakah sanggup
dia menghadapinya?!
“Angin Topan Dari
Barat,” Pendekar 212 buka mulut.
“Baiknya kau
lekas-lekas minta tobat atas kejahatanmu selama ini. Sebentar lagi tentu sudah
tak keburu…. !” Angin Topan Dari Barat atau Bladra Wikuyana tindih rasa
jerihnya dengan tertawa bergelak. Tahu akan kehebatan senjata di tangan lawan
maka dia segera menyerang lebih dahulu! Sinar hitam bergulung-gulung ke arah
Pendekar 212. Pemuda ini sambut serangan lawan dengan pergunakan jurus:Orang
Gila Mengebut Lalat. Kapak Naga Geni 212 di tangannya berkelebat cepat ke
kiri dan ke kanan, mengeluarkan suara berdengung macam suara ribuan tawon!
Terkejutnya Bladra Wikuyana bukan kepalang ketika merasa bagaimana kini tongkat
saktinya tak dapat lagi bergerak leluasa, tertindih, terbendung dan terpukul
angin kapak bermata dua di tangan lawan! Bladra Wikuyana percepat permainan
tongkatnya dan menyerang dengan jurus-jurus lihay mematikan. Namun tetap saja
tak dapat ke luar dari tindihan senjata lawan. Dan kini sesudah bertempur di
jurus yang kesembilan puluh delapan maka mulailah jago tua ini terdesak hebat!
Diam-diam Bladra Wlikuyana cucurkan keringat dingin. Ditahannya sedapat-dapatnya serangan senjata lawan. Satu kali tongkatnya beradu
dan tak ampun ujung tongkat terbabat puntung! Bladra Wikuyana tak berani lagi
bentrokan senjata! Matanya kini liar mencari kesempatan untuk kabur. Dia
menggeram karena telah menyuruh murid-muridnya menurunkan tangga gantung karena
tangga dari tali itulah satu-satunya jalan untuk kabur ke luar jurang batu
karang! Karena pikirannya bercabang dua, satu memikir jalan untuk lari, kedua
memusatkan pada serangan lawan maka pertahanan Bladra Wikuyana sering-sering melompong.
Hal ini bukan tak dilihat oleh Pendekar 212, kalau saja dia mau maka sudah
sejak tadi dia melabrak manusia berewok bertangan dan kaki buntung itu. Dari
mulut Pendekar 212 mulai terdengar siulan membawakan lagu tak menentu!
Sambil kirimkan bacokan
ke pinggang, Wiro Sableng putar gagang kapak. Kedua mata kapak membuat setengah
lingkaran, salah satu dari padanya memapas pergelangan tangan kanan Bladra
Wikuyana yang terbuat dari kayu! Tangan palsu yang ujungnya berbentuk arit itu
kutung dan lepas! Mental ke udara! Bladra Wikuyana melompat ke belakang.
Mukanya pucat pasi. Dia mengerang karena aliran aneh yang berhawa panas dari
senjata lawan merembes melalui kutungan tangan kayu ke dalam tubuhnya!
“Cuma lengan kayumu
saja. Angin Topan Dari Barat! Kenapa musti pucat macam mayat?” Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak.
“Sekarang aku minta
kaki kayumu!” Habis berkata begitu. Wiro Sableng bersiul dan melompat ke muka.
Kapaknya membabat ke kepala Bladra Wikuyana. Jago tua ini yang tak berani
lakukan bentrokan senjata cepat-cepat melompat berkelit dan lancarkan serangan
balasan dengan pukulan tangan kosong yang menimbulkan angin hebat. Namun dengan
Kapak Naga Geni 212 di tangan, segala pukulan tangan kosong bagaimanapun
hebatnya dari manusia berewok yang bergelar Angin Topan Dari Barat itu tiada
artinya lagi! Kapak Naga Geni 212 membacok ke bahu, berbalik merambas pinggang,
menderu lagi ke kepala membuat tokoh silat tua dan berpengalaman luas itu
menjadi sangat sibuk. Dan ketika tiba-tiba sekali senjata lawan membabat ke
bawah, dia tak punya kesempatan lagi untuk mengelak! Untuk kedua kalinya mata
kapak membabat anggota badannya yaitu kaki kayu Bladra Wikuyana sebelah kanan!
Meski huyung-huyung tapi laki-laki ini masih sempat lompatkan diri ke luar dari
kalangan pertempuran. Mukanya pucat sekali dan keningnya penuh keringat! Di
dalam dadanya menggelegak rasa benci, dendam dan nafsu untuk membunuh! Dengan
tahan tubuhnya pada ujung tongkat, Bladra Wikuyana pejamkan mata. Mulutnya
komat kamit.
“Ilmu apa yang kau
mau keluarkan Angin Topan Dari Barat? Sebaiknya dengar omonganku! Aku yang muda
ini masih mau kasih ampun kepada kau jika kau berjanji untuk bertobat dan hidup
di jalan yang benar, tidak lagi berbuat kejahatan tapi mempergunakan iimumu
buat menolong sesama manusia. Bagaimana…?!” Bladra Wikuyana buka sepasang
matanya sedikit. Mulutnya berkemik mengejek.
“Jangan kira kau
sudah menang bocah hijau! Aku masih jauh dari kalah! Lihat mukaku bocah hijau…
lihat mukaku….
“ Mata Wiro Sableng
menyipit. Ketika diperhatikannya tampang Bladra Wikuyana terkejutlah dia.
Kepala tokoh silat itu kini rnenjadi enam dan berwarna hitam, gigi-giginya
merupakan caling-caling yang mengerikan, bola-bola matanya besar sedang
lidahnya panjang menjulai sampai ke dada. Dari dua belas mata yang ada di enam
kepala itu memancar sinar hijau.
“Ah… ilmu siluman
macam begini hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil!” ejek Wiro Sableng. Disapukannya Kapak Naga Geni 212 ke muka. Angin deras
membuat Bladra Wikuyana terpelanting tapi muka silumannya masih juga seperti
tadi malah semakin menyeramkan. Tiba-tiba dengan menggereng keras laksana
harimau terluka menerjanglah tokoh silat itu didahului oleh dua belas sinar
hijau yang ke luar dari mata silumannya!
“Tua bangka geblek!
Dikasih ampun malah keluarkan Ilmu yang bukan-bukan!” rutuk Wiro Sableng.
Ditunggunya beberapa detik. Sesaat kemudian berkiblatlah kapak mautnya dari
atas ke bawah! Angin Topan Dari Barat terkapar di pelataran batu karang tanpa
berkutik, juga tanpa menjerit. Kepalanya sampai ke dada terbelah dua. Darah
membanjir! Tamatlah riwayat tokoh silat dari golongan hitam itu yang selama
hidupnya telah menebar benih kejahatan dan mendidik manusia-manusia untuk
disesatkan! Wiro Sableng garuk rambut gondrongnya dan meludah. Jijik juga dia melihat
darah yang membanjir dari tubuh Bladra Wikuyana. Dipandangnya Kapak Maut Naga
Geni 212 di tangan kanannya. Mata kapak itu berlumuran darah. Pemuda ini
goleng-goleng kepala.
“Kapak hebat… kapak
hebat….” katanya. Kemudian sekali hembus saja maka noda darah pada mata kapak
pun lenyaplah! Senjata sakti pemberian Eyang Sinto Gendeng itu segera
dimasukkannya ke balik pinggang kembali. Selama setengah jam Wiro Sableng
memasuki dan menggeledah isi Gua Sanggreng. Di sini ditemuinya banyak sekali
persediaan makanan dan uang serta barang-barang perhiasan. Menurut pikiran Wiro
uang serta perhiasan itu mungkin sekali hasil rampokan yang ditimbun menjadi
milik Perguruan Gua Sanggreng. Wiro mengambil sejumlah uang dan perhiasan
sekedar bekal di perjalanan. Kemudian pemuda ini duduk di sebuah kursi besar
dan menikmati makanan yang ada di dalam gua itu. Waktu dia ke luar dari gua
dilihatnya langit sudah sangat merah kekuningan tanda matahari hampir
tenggelam. Pemuda ini segera mencari tangga tali. Tangga tali itu kemudian
dilemparkannya pada patok runcing batu karang di tepi jurang sebelah atas dan
mulailah pendekar ini menaiki anak tangga demi anak tangga menuju ke atas. Dari
atas sebelum berlalu dilayangkannya pandangannya untuk terakhir kali ke dalam
jurang batu. Duapuluh enam mayat bergelimpangan di mana-mana. Pemuda ini garuk
dan golenggoleng kepala. Dan mulailah dia melangkah sepembawa kakinya. Malam
tiba nanti entah di mana dia akan berada. Suara siulannya mengumandang di
belantara batu-batu karang. Sambil terus berjalan. bernyanyilah pendekar ini:
Langit merah angin silir…. Surya tenggelam di ufuk Barat…. Malam yang datang
tentu dingin dan gelap…. Berjalan seorang diri memang tidak enak…. Tapi selalu
diikuti orang lain juga tidak enak…. Nyanyian ini tiada menentu nadanya dan
diulang-ulang sampai beberapa kali. Akhirnya disatu penurunan curam Pendekar
212 hentikan nyanyiannya dan duduk di sebuah unggukan batu. Sambil tertawa-tawa
berkatalah dia:
“Manusia yang ikuti
aku kenapa sembunyi di belakang batu? Coba ke luar unjukkan jidat, apa betul
manusia atau hantu…?” Wiro memandang pada celah batu karang yang tadi
dilewatinya. Suasana hening saja.
“Ah, manusia di
belakang batu tentu seorang pemalu,” katanya.
“Biarlah aku sendiri
yang lihat tampangnya!”
Habis berkata begitu
Wiro Sableng hantamkan tangan kanannya ke arah celah batu. Sebagian lagi
terguling ke bawah. Dan dari balik batu terdengar seruan tertahan!
Apa yang tidak diduga
oleh Pendekar 212 ternyata bahwa penguntitnya sejak dari jurang Gua Sanggreng
tadi adalah seorang gadis!
***
ENAM
“Aha… Nyatanya
seorang gadis molek! Pantas malu-malu unjukkan diri…!” kata Wiro Sableng pula
dengan tertawa lebar melihat kepada pakaian ungu yang dikenakan gadis itu
segera pemuda ini mengenali bahwa gadis itu adalah anak murid Dewa Tuak.
“Gadis molek, ada apa
kau menguntit aku sejak dari lereng bukit sampai ke jurang maut sana…?”
bertanya Wiro.
Anggini, si gadis
baju ungu, tak memberikan jawaban. Mukanya merah karena malu dan jengah. Wiro
Sableng tertawa lagi dan berkata: “Mungkin ada mengandung suatu maksud tidak
baik …. “
“Saudara… a…aku…”
Anggini gugup sekali. Apa yang harus dikatakannya pada pemuda itu?
“Apakah gurumu si
Dewa Tuak itu juga ikut bersamamu saat ini?
Barangkali juga
kalian hendak menjebakku…?”
“Saudara dengarlah…”
kata Anggini pula.
“Aku sebenarnya tidak
mau dengan semuanya ini…”
“Semuanya ini apa…?”
potong Wiro Sableng.
Anggini menggigit
bibir.
“Gurumu bersamamu?”
“Tidak….”
“Gurumu yang menyuruh
untuk menguntit aku?”
Gadis itu anggukkan
kepala.
“Perlu apa gurumu
menyuruh demikian?”
Kembali Anggini
menggigit bibir.
“Apa dia belum puas
dengan sedikit pertempuran siang tadi…?”
Anggini tetap
membungkam. Ya, bagaimana dia harus mengatakan pada si pemuda bahwa gurunya
menyuruhnya mengejar untuk kemudian berusaha menjadi kawan hidup pemuda itu?
Bagaimana dia harus terangkan semua itu! Ingin dia menangis dan lari dari
hadapan pemuda itu. Tapi kepada Dewa Tuak gadis ini takut sekali!
Pendekar 212 kerutkan
kening. Mendadak mukanya menjadi merah, semerah langit yang disaputi sinar sang
surya yang mau tenggelam di saat itu. Dia ingat akan ucapan Dewa Tuak yang
mengatakan bahwa dirinya cocok untuk jadi jodoh muridnya!
Pendekar muda ini
melirik pada gadis baju ungu. Anggini berparas bujur telur dan molek. Kulitnya
kuning dan potongan tubuhnya sedap dipandang mata. Tapi urusan jodoh mana ini
pemuda berpikir sampai di situ. Tak ada ingatannya sampai sejauh itu.
Bahkan kewajiban
berat yang dipikulkan gurunya ke pundaknya, hutang nyawa dendam seribu karat
terhadap Suranyali alias Mahesa Birawa sampai hari ini masih belum lunas! Masih
belum dilaksanakannya!
Wiro Sableng berdiri
dari duduknya. Dipandanginya gadis baju ungu itu seketika lalu mengumandanglah
gelak tawanya.
“Saudari… apakah
penguntitan ini ada sangkut pautnya dengan ucapan gurumu si Dewa Tuak?”
Paras Anggini semakin
merah.
“Tadi aku sudah
bilang… sebenarnya aku tak senang dengan semua ini. Tapi guru memaksaku…”
“Memaksa bagaimana?!”
“Katanya aku harus
mengejarmu sampai dapat. Kalau tak berhasil tak usah kembali kepertapaan.
Katanya lagi aku harus… harus…” Anggini tak dapat meneruskan ucapannya.
“Kurasa gurumu itu
sudah sinting! Sekurang-kurangnya seperempat sinting!"
Meski Anggini memang
tak suka menjalankan apa yang diperintahkan Dewa Tuak namun mendengar nama gurunya
dicaci demikian rupa gadis ini jadi marah.
“Jangan hina guruku,
saudara!” bentaknya. Wiro Sableng garuk kepala.
“Ah… guru dan murid
sama saja gebleknya!” kata ini pemuda.
“Kalau gurumu suruh
kau makan beling dan minum racun, apakah kau juga akan ikuti ucapannya itu…?!”
“Guruku tidak segila
itu!” bentak si gadis.
“Aku memang tidak
bilang gurumu gila, tapi sinting!” menukasi Wiro Sableng.
“Sekali lagi kau
berani menghina guruku, kutampar mulutmu!” ancam Anggini. Wiro Sableng
keluarkan suara bersiul!
“Gurumu memang
sinting!” katanya lagi. Anggini telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan
ketinggian kesaktian Pendekar 212 waktu terjadi pertempuran di jurang Sanggreng
beberapa saat yang lalu. Dari situ dia dapat menyimpulkan bahwa gurunya sekali
pun belum tentu akan dapat mengalahkan pemuda itu dengan mudah. Namun saat itu
kegemasannya tak dapat ditahan lagi. Tangan kanannya bergerak cepat. Sebaliknya
Wiro Sableng malah angsurkan pipi ke muka!
“Plaak!” Tamparan
mendarat di pipi Wiro Sableng. Pendekar muda ini tertawa.
“Betapa lembutnya
jari-jarimu mengelus pipiku..,” katanya dengan pejamkan mata.
“Ayo, tamparlah
sekali lagi… dua kali lagi… tiga kali lagi… sesuka hatimulah…!” Wiro menunggu
tapi tamparan berikutnya tak datang dan pemuda ini bukakan kedua matanya
‘kembali. Dilihatnya Anggini berdiri dengan hidung kembang kempis menahan geram
yang menyesaki dadanya. Pendekar 212 tertawa.
“Kenapa tidak mau
tampar?” tanyanya sinis. Karena digemasi terus-terusan Anggini jadi penasaran
sekali. Segera dibukanya selendang ungu yang melilit di pinggangnya yang
berpinggul besar.
“Eh… saudari kau ini
apa mau buka pakaian di depanku?” tanya Wiro Sableng sambil kedip-kedipkan mata
dengan ceriwis.
“Pemuda rendah terima
selendangku ini!” bentak Anggini. Tangan kanannya bergerak. Ujung selendang
berputar pelahan dan lamban ke arah kepala Wiro Sableng. Selendang terbuat dari
kain yang halus. Bila benda itu bergerak lamban berarti benda itu dialiri oleh
aliran tenaga halus. Dan Wiro tahu bahwa kadangkala tenaga halus lebih
berbahaya daripada tenaga kasar yang di luarnya kelihatan hebat. Pemuda ini tak
mau menyambuti liuk liku selendang itu. Dia menggeser kedua kaki dan menjauhkan
kepalanya. Masih tertawa dia mengejek:
“Saudari, tarianmu
bagus sekali! Apakah ini juga dari gurumu kau pelajari?!” Dugaan Pendekar 212
memang tepat. Kalau sekiranya dia mencoba memapasi selendang yang meliuk-liuk
itu maka dengan satu sentakan cepat Anggini akan menarik selendang dan
melesatkan ujungnya ke mata si pemuda. Ini pun sebenarnya belum ketentuan Wiro
Sableng akan kena dihajar begitu saja. Tapi demikianlah kenyataannya bahwa
kadangkala ilmu halus dan lembut harus dihadapi dengan kehalusan dan kelembutan
pula. Melihat si pemuda geser kaki menjauh tapi masih dengan sikap mengejek
maka kini Anggini rubah permainan selendangnya. Laksana seekor naga selendang
ungu itu meliuk dan mematuk kian ke mari. Dan kini barulah Wiro menghadapinya
dengan kekasaran pula.
“Saudari, permainan
selendangmu patut dikagumi!” memuji Pendekar 212.
“Tapi tak cukup pasal
kalau kau sampai menyerangku begini rupa. Aku…” Ucapan Wiro Sableng terpotong
oleh bentakan Anggini.
“Tutup mulut pemuda
ceriwis! Lihat selendang!” Ujung selendang ungu dengan sangat tiba-tiba mematuk
ke arah mata kiri Wiro Sableng. Ganda tertawa pemuda ini tundukkan kepala untuk
mengelak. Sejak tadi meski dia menghadapi serangan-serangan lawan dengan cara
kasar tapi sesungguhnya Pendekar 212 terus-terusan mengambil sikap mengelak.
Tapi pada saat Wiro Sableng mengelak, pada detik itu pula ujung selendang
dengan sangat cepat turun dan melibat leher! Setengah libatan Pendekar 212
cepat-cepat pergunakan tangan kiri untuk rnengibaskan selendang ujung tapi ini
tak bisa dilakukannya karena serentak dengan itu Anggini kirim satu tusukan dua
ujung jari tangan kiri ke dada kiri Wiro Sableng. Hebat sekali serangan ini
sehingga kalau dilihat dari atas maka serentakan dengan serangan selendangnya
tadi, maka sepasang serangan Anggini tak ubahnya seperti sebuah gunting besar
yang hendak menggerus tubuh dan leher si pemuda!
“Ah… ah… bagus, bagus
sekali saudari! Tak percuma kau jadi murid si Dewa Tuak!” memuji Wiro Sableng.
Tangan kirinya terpaksa dipalangkan untuk menunggu tusukan jari tangan lawan.
Anggini yang tahu bahwa tenaga dalam pemuda itu jauh lebih tinggi darinya
batalkan serangan sebaliknya tangan kanannya siap menyentakkan selendang ungu
yang ujungnya telah melibat setengah leher Wiro Sableng. Pendekar 212 cepat
angsurkan lehernya ke muka untuk mengendurkan selendang sehingga kalaupun detik
itu disentak, sentakan itu tak akan mencelakainya. Kemudian dengan tangan
kanannya, cepat sekali disampoknya bagian tengah selendang! Anggini sama sekali
tak dapat melihat cepatnya tangan kanan lawan yang menyampoki senjatanya. Dia
hanya tahu tiba-tiba saja bagaimana selendangnya menjadi menegang dan tertarik
ke muka! Sesaat mengetahui bahwa selendangnya kena terpegang lawan terkejutlah
gadis ini, tapi juga penasaran sekali. Dibetotnya selendang itu namun mana Wiro
Sableng mau lepaskan, malahan sebaliknya pemuda ini tarik selendang tersebut
sehingga tubuh Anggini sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah ikut
tertarik ke hadapannya. Anggini memaki dalam hati.
“Sambut paku perakku,
rnanusia rendah!” bentak gadis itu. Sekali dia gerakkan tangan kirinya maka
selusin benda yang besarnya setengah jengkal, berbentuk paku dan berwarna putih
perak mendesing ke arah Wiro Sableng. Karena jarak mereka terpisah dekat sekali
maka dua belas senjata rahasia ini sangat berbahaya bagi keselamatan si pemuda.
Anggini sendiri tiba-tiba merasa menyesal melepaskan senjata rahasia itu karena
kawatir si pemuda tak dapat berkelit atau memapakinya, karena bukankah gurunya
telah berpesan bahwa pemuda itu adalah cocok bakal jadi jodohnya…?! Sebaliknya
yang diserang tenang-tenang saja. Bahkan sambil bersiul dilambaikannya tangan
kirinya. Delapan paku perak luruh ke tanah sedang yang empat lagi dielakkan
dengan berkelit sedikit ke samping. Kalau tadi dia merasa menyesal menyerang
pemuda itu dengan senjata rahasianya maka kini setelah si pemuda berhasil
selamatkan diri, kembali Anggini menjadi penasaran. Dia memekik keras, lompat
ke atas dan kirimkan dua tendangan jarak dekat susul rnenyusul.
“Ah, tak sangka gadis
molek begini galak sekali!” kata Wiro Sableng pula. Dia melompat ke samping.
Membuat gerakan satu putaran, dan sebelum Anggini turun ke tanah, kedua kaki
gadis itu sudah terlibat selendangnya sendiri! Membuatnya berdiri dengan
terhuyung-huyung tak bisa melangkah!
Wiro tertawa
gelak-gelak.
“Ayo, kenapa berhenti
galaknya?” tanyanya mengejek.
Karena sampai saat
ini Anggini masih memegang ujung yang lain dari selendangnya maka dengan cepat
dia dapat membukanya kembali. Paras gadis ini merah sekali. Matanya menyorot
memandang kepada Wiro Sableng, sebaliknya Pendekar 212 dengan ceriwis
mengedip-ngedipkan matanya!
“Senjata apa lagi
yang bakal kau keluarkan?!” tanya Wiro.
“Lepaskan
selendangku!” teriak Anggini.
Wiro hanya tertawa.
“Lepaskan!” teriak
gadis itu lagi. Dicobanya menyentakkan selendang itu tapi Wiro memegangnya erat
sekali. Kalau ditariknya keras pasti selendang kain itu akan robek.
Kesal dan gemas
akhirnya dengan menghentakkan kaki Anggini lepaskan selendangnya, putar tubuh
dan lari ke balik sebuah batu besar. Di sini menangislah gadis itu.
“Heh… kenapa jadi
nangis?” tanya Wiro ketika dia melangkah dan datang di balik batu besar. Pemuda
ini jadi garuk-garuk kepala. Lalu katanya: “Saudari, lihat, hari sudah senja.
Sebaliknya kau
kembalilah ke tempat gurumu! Kalau tidak pasti kau akan sesat di malam yang
gelap nanti!”
“Aku tak mau kembali!
Tak bisa kembali ke pertapaan!” jawab Anggini di antara tangis sesungguhnya.
“Kenapa tak mau?
Kenapa tak bisa?”
“Guruku akan marah!”
“Marah kenapa?” tanya
Wiro tagi.
“Sudah… sudah! Kau
tidak tahu!” Dan tangis Anggini semakin mengeras.
“Lalu kalau kau tak
mau kembali ke tempat gurumu, apa kau bakal nginap di sini?!”
“Tak usah perdulikan
aku! Biar aku mau malang mau melintang tak usah ambil pusing! Pergi dari sini
kau…!” Anggini menyeka mata dan pipinya.
“Tak perlu bicara
keras macam begitu, Saudari. Antara kita tak ada permusuhan. Ini semua adalah
gara-gara gurumu yang berotak sinting itu!”
“Jangan hinakan
guruku!” hardik Anggini.
“Kau seorang murid
yang baik. Patuh terhadap guru dan juga hormati Tapi sayang kau juga
turut-turutan bertindak tidak pakai pikiran sehat. Sekarang sudah, kembalilah
ke pertapaan gurumu sebelum hari menjadi malam…”
“Tidak!”
Wiro Sableng
melangkah ke belakang Anggini. Kasihan-kasihan lucu dia merasa saat itu.
Akhirnya pemuda ini berkata juga: “Ini selendangmu. Kalau kau banyak berlatih
pasti kau menjadi seorang gadis yang hebat….”
Wiro lantas
menyampirkan selendang ungu itu di pundak si gadis. Ketika dia memandang ke
langit dilihatnya bintang-bintang sudah bermunculan dan bulan sabit kelihatan
samarsamar di balik awan.
“Sudah malam….” desis
pemuda ini. Kemudian dia memandang pada gadis yang berdiri di depannya dengan
membelakang itu.
“Pergilah cepat,
saudari. Nanti kau kemalaman di jalan….”
Anggini gelengkan
kepala.
“Guruku akan marah…
akan marah kalau aku kembali…. “
“Kalau begitu ya tak
usah kembali saja…” ujar Wiro Sableng.
“Aku memang tak bakal
kembali…” kata Anggini pula.
“Hem… dan kau mau
pergi ke mana?”
“Apa urusanmu
tanya-tanya?”
“Ah…” Wiro tertawa.
Dia melangkah ke hadapan si gadis. Kemudian dipegangnya pundak Anggini. Si
gadis dengan serta merta hendak menyibakkan tangan itu. Tapi tubuhnya sudah
keburu dijalari perasaan aneh yang menggelora-gelora sampai ke lubuk hatinya.
Tak kuasa dia menyibakkan pegangan tangan pada bahu itu.
“Saudari, dengarlah…”
kata Wiro pula. Tangannya masih memegang bahu si gadis malahan meremas-remasnya
dengan lembut.
“Dalam hubungan guru
dan murid walau bagaimana pun kau musti kembali ke pertapaan. Kau tak boleh
tempuh jalan sehdiri. Kalau kau tak kembali malah gurumu akan marah sekali. Kau
pasti akan dihukumnya!”
“Tapi bagaimana aku
mungkin bisa kembali? Tidak bisa saudara.., kau tidak tahu….”
“Apa yang aku tidak
tahu?” tanya Wiro. Tak mungkin bagi Anggini untuk mengatakannya dengan terus
terang. Namun terluncur juga ucapan dari mulutnya:
“Kalau aku musti
kembali kata guruku… aku harus bersamamu…” Wiro tertawa. Suara tertawanya
menggema di daerah sepi dingin di permulaan malam itu.
“Saudari… namamu
siapa?” bertanya Wiro Sableng. Dan karena tadi gadis itu diam saja diremas
bahunya maka tangan Wiro kini meluncur ke pipi, membelai pipi yang masih belum
kering dengan air mata itu. Rasa yang menyentak-nyentak mendebarkan dada si
gadis kini tambah keras dari tadi. Lagi-lagi tak kuasa dia menyibakkan tangan
yang membelaibelai itu. Ditundukkannya kepalanya.
“Siapa namamu,
saudari…?” tanya Wiro lagi.
“Anggini,” jawab si
gadis perlahan.
“Nama bagus… nama
bagus,” puji Pendekar 212 dan tangannya semakin berani membelai muka Anggini.
“Dengar Anggini,
orang tua macam gurumu itu memang suka bicara ngelantur. Sekarang kau kembali
saja ke pertapaannya dan katakan bahwa kau tak berhasil mengejar atau menemui
aku. Habis perkara. Atau kalau tidak katakan saja kau telah menemuiku dalam
keadaan tak bernyawa mati di jurang Sranggreng!”
“Aku tak bisa berdusta…
kalau aku berdusta dia selalu mengetahuinya!” kata Anggini pula.
“Wah berabe kalau
begini!” ujar Pendekar 212 dengan garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir apa
yang akan diperbuatnya. Kalau ditinggalkannya gadis itu sendirian di situ, tak
tega pula hatinya. Pemuda ini hela nafas panjang. Akhirnya diajaknya gadis itu
duduk di sebuah batu datar. Daerah belantara di mana mereka berada saat itu
serba asing baginya. Mungkin sampai ratusan tombak bahkan ribuan tombak
perjalanan belum menemui rumah penduduk. Apakah dia dan gadis itu terpaksa
tinggal terus di tempat itu malam ini? Angin bertiup dari celah-celah batu-batu
yang meruncing memenuhi tempat itu.
“Dingin…?” bisik
Pendekar 212. Anggini mengangguk. Dan tangan kiri Pendekar 212 bergerak di
balik punggung si gadis untuk kemudian merangkul bahu Anggini. Suasana berubah
hangat. Dan untuk beberapa lamanya mereka tiada bicara. Wiro memecah kesunyian.
“Kalau kau tak mau
kembali ke pertapaan dan aku tak bisa pula meninggalkan kau sendirian maka kita
terpaksa bermalam di sini. Tunggulah sebentar aku akan cari tempat yang baik….”
“Nanti sajalah….
“ kata Anggini.
Diletakkannya tangan kanannya di paha Pendekar 212 dan dia memandang ke
angkasa.
“Langit cerah,” kata
Wiro.
“Kalau nanti turun
hujan, memang. kita yang sialan…. !” Anggini tertawa. Manis sekali tertawa itu.
Hati Pendekar 212 sejuk sekali jadinya. Dan diperketatnya rangkulannya.
Kemudian dengan beraninya pendekar ini menggelitiki tengkuk si gadis dengan
hidungnya.
“Jangan begitu ah….”
kata Anggini menggeliat kegelian. Tapi tubuh dan tengkuknya tidak dijauhkannya.
Malam itu Wiro Sableng sengaja tidak membuat, perapian. Dia khawatir
kalau-kalau nyala api hanya akan mengundang datangnya hal-hal yang tidak
diingini. Apalagi kalau yang datang itu adalah Dewa Tuak adanya. Meskipun
dingin, meskipun mereka hanya terbaring di balik batu besar hitam itu dan
beratapkan langit luas namun tubuh mereka yang berada berdekatan itu saling
memberi kehangatan. Pendekar 212 ingat pada suatu malam ketika dia berada
berdua-duaan di sebuah dangau di tengah sawah dengan Nilamsuri. Malam ini tak
ada bedanya dengan malam yang dulu itu. Sama-sama ada seorang gadis di
sampingnya. Tapi terhadap Anggini, Pendekar 212 masih punya pikiran panjang dan
sehat: Meski saat itu Anggini sudah berbaring pasrahkan seluruh tubuhnya
untuknya dan memang sudah hampir setiap bagian dari tubuh Anggini disentuh oteh
Pendekar 212, namun untuk berbuat lebih jauh dari itu pemuda ini tidak mau.
Tubuh perawan itu laksana bara hangatnya, tangannya menggapai punggung Wiro dan
pahanya melejang-lejang halus. Tapi Pendekar 212 hanya merangkuli tubuh itu,
hanya mengecupi bibirnya yang basah, hanya menciumi matanya yang sayu kuyu tapi
menyembunyikan hasrat yang meluap itu.
***
Sinar matahari yang
menyapu mukanya membuat gadis ini terbangun dari kenyenyakan tidurnya.
Dibukanya kedua matanya dengan pelahan, digosoknya beberapa kali kemudian
dipalingkannya kepalanya ke samping. Dia terkejut mendapatkan pemuda itu tak
ada di sampingnya, la segera bangun duduk, lalu berdiri dan memandang ke
belakang. Tapi pemuda itu tidak kelihatan.
“Wiro,” panggilnya.
Tak ada yang menyahut.
“Wiro…. !” panggilnya
sekali lagi lebih keras. Hanya gaung suaranya yang menjawab. Tiba-tiba ketika
matanya memandang ke batu besar di samping pembaringan di mana dia dan Wiro
tidur semalam terbentur olehnya tulisan. Tulisan. Anggini Maafkan kalau aku
pergi tanpa pamit. Aku terpaksa meninggalkan kau. Kalau ada umur kita pasti
bertemu lagi. Kembalilah ke tempat gurumu. Terima kasih untuk segala-galanya malam
tadi.
Anggini merasakan
dadanya menyesak. Digigit-gigitnya bibirnya. Nyatanya pemuda itu sudah pergi.
Tubuhnya masih terasa hangat oleh pelukan Wiro malam tadi. Seperti masih terasa
jari-jari tangan pemuda itu mengelusi kulit tubuhnya. Juga kecupan-kecupan yang
disertai gigitan-gigitan kecil. Terima kasih untuk segala-galanya malam tadi
Anggini membaca lagi tulisan itu. Termangu dia. Diputarnya tubuhnya, parasnya
ke kemerahan, ditambah lagi sentuhan sinar matahari pagi. Tak mungkin baginya
untuk mengejar pemuda itu kembali. Dia tak tahu apakah Wiro pergi larut malam
tadi atau dinihari, atau pagi tadi sebelum dia bangun. Gadis ini tarik nafas
panjang dan dalam. Ketika dia membetulkan ikatan selendang ungunya yang di
pinggang, maka pada ujung selendang itu dilihatnya sederetan angka: 212. Sekali
lagi gadis ini tarik nafas dalam dan panjang. Lalu dengan langkah gontai
ditinggalkannya tempat itu.
***
TUJUH
Kerajaan Pajajaran…
Pada masa itu
Kerajaan Pajajaran masih belum luas pengaruhnya di Jawa Barat. Bahkan dengan
kesultanan Banten di pantai Utara masih terdapat hubungan baik, belum ada
silang sengketa. Di bawah pemerintahan Prabu Kamandaka maka Kerajaan Pajajaran
aman tenteram. Penduduk hidup berkecukupan. Tapi di dunia ini selalu saja ada
manusia yang berbusuk hati, yang iri dan dengki. Yang tidak senang dengan
kebahagiaan orang lain, yang tidak suka dengan keberuntungan orang lain, yang
tidak suka akan kekuasaan orang lain dan ingin meruntuhkan kekuasaan orang lain
itu lalu ganti menguasainya! Saat itu satu-satunya manusia di seiuruh Pajajaran
yang paling membenci Prabu Kamandaka ialah Werku Alit. Dalam tambo keturunan
raja-raja Pajajaran maka Prabu Purnawijaya adalah satu-satunya raja pajajaran
yang tidak mempunyai keturunan kandung dari permaisurinya. Mungkin ini sudah
menjadi takdir Dewa-dewa di Kahyangan, dan ini jugalah yang menjadi pangkal
sebab buntut daripada terjadinya banjir darah di Pajajaran. Ketika Prabu
Purnawijaya mangkat maka tokoh-tokoh istana, ahli-ahli agama dan orangorang tua
kerajaan menyepakati untuk menobatkan Kamandaka, adik kandung Prabu
Purnawijaya, menjadi raja Pajajaran. Kamandaka memang seorang yang bijaksana,
pandai serta berilmu tinggi, disegani dan dihormati. Memang dia telah
menunjukkan bakat untuk menjadi seorang pemimpin agung. Lagi pula memang tak
ada manusia lain di Pajajaran saat itu yang punya hak dan pantas untuk
dinobatkan sebagai pengganti mendiang Prabu Purnawijaya. Dari seorang selirnya,
Prabu Purnawijaya mempunyai seorang anak yang bernama Werku Alit. Werku Alit ini
tua beberapa bulan dari Kamandaka. Ketika masih orok keduanya sama-sama
disusukan pada seorang perempuan penyusu istana sehingga boleh dikatakan antara
Werku Alit dan Kamandaka terjalin sudah satu pautan tali persaudaraan! Namun
ketika Kamandaka dinobatkan sebagai Prabu Pajajaran timbullah dengki di hati
Werku Alit. Bukankah Kamandaka hanya adik Prabu Purnawijaya; bukan anak
kandungnya? Dan bukankah dia sebagai anak dari Prabu Purnawijaya, lebih
mempunyai hak untuk memegang tahta kerajaan? Werku Alit dalam dengkinya,
apalagi sesudah kena hasutan oleh golongangdongan tertentu yang memang tidak
suka pada Kamandaka, lupa bahwa dirinya hanyalah seorang anak yang dilahirkan
dari selir Prabu Pumawijaya, yang sama sekali tidak punya hak untuk menjadi
raja Pajajaran. Demikianlah, secara diam-diam Werku Alit meMnggalkan istana
Pajajaran, mengembara menuntut ilmu dan menghubungi beberapa orang tertentu.
Ketika dia kembali ke istana maka saat itu dia sudah menyusun suatu rencana
besar. Yaitu untuk merebut takhta kerajaan dengan jalan kekerasan! Dengan
pertempuran, dengan peperangan! Dalam pengembaraan itulah Werku Alit bertemu
dengan Suranyali atau Mahesa Birawa. Tahu bahwa Mahesa Birawa seorang manusia
sakti luar biasa maka Werku Alit mengambilnya sebagai tangan kanan dengan
perjanjian bila kerajaan berhasil digulingkan maka Mahesa Birawa akan dijadikan
Perdana Menteri! Dalam menjadi tangan kanan membantu rencana busuk Werku Alit.
Mahesa Birawa mempunyai rencana sendiri, rencana dalam selimut. Jika kerajaan
jatuh dan Werku Alit menang, maka Mahesa dan kawan-kawannya akan menyingkirkan
Werku Alit untuk kemudian dia sendiri yang akan menampilkan diri menduduki
tahta kerajaan Pajajaran
* * *
Di hutan belantara di
sekitar kaki Gunung Halimun kelihatan bertebaran ratusan buah kemah. Inilah
pusat balatentara pemberontak yang hendak merebut tahta kerajaan Pajajaran di
bawah pimpinan Werku Alit. Sementara Werku Alit kembali ke Pajajaran maka
pimpinan dipegang langsung oleh tangan kanannya yaitu Mahesa Birawa. Di sini
berhimpun sekitar seribu prajurit. Kebanyakan dari pasukan-pasukan ini didapat
Werku Alit dan Mahesa Birawa dari Adipati-adipati kecil yang bernaung di bawah
Pajajaran tapi yang kena dipengaruhi dan dihasut oleh kedua orang itu. Bahkan
saat itu Mahesa Birawa masih menunggu beberapa orang Adipati lagi yang telah
dihubunginya. Jika Adipati-adipati ini datang dan menyerahkan beberapa ratus
prajurit tambahan maka dapatlah diatur kapan dilaksanakan penyerangan terhadap
Pajajaran. Sementara waktu menunggu maka semua prajurit senantiasa dilatih
perang-perangan. Para kepala-kepala pasukan diberi tambahan ilmu silat dan
kesaktian yang lumayan oleh Mahesa Birawa sedang para Adipati yang saat itu
sudah bergabung Mahesa Birawa menurunkan beberapa ilmu kesaktiannya. Mahesa
merasa sangat menyesal sekali ketika mendapat kabar bahwa tiga orang anak
buahnya yang; diam di Jatiwalu telah menemui ajal akibat bentrokan dengan
anak-anak murid Perguruan Gua Sanggreng sedang Kalingundii hilang lenyap tak
tentu rimbanya. Kalau saja keempat manusia itu ada di sana tentu tak usah
payah-payah dia menggembleng kepala-kepala pasukan dan Adipatiadipati itu. Tapi
tak apa payah sedikit. Nanti dia akan memetik hasilnya sendiri! Di dalam kemah
besar yang terletak di tengah-tengah ratusan kemah di kaki Gunung Halimun itu,
mengelilingi sebuah meja bulat telur maka duduklah empat orang laki-laki. Yang
pertama tak lain dari Mahesa Birawa, kumis melintang dan badan semakin gemuk.
Yang kedua Adipati Karangtretes yaitu Jakaluwing, bercambang bawuk lebat,
potongan tubuhnya tegap kekar. Yang ketiga, yang duduk di samping kiri Mahesa
Birawa ialah seorang berbadan tinggi kurus bermuka licin bernama Surablabak.
Dia adalah Adipati Manganreja. Yang terakhir seorang laki-laki berbadan gemuk
pendek, berkepala sulah. Sinar lampu dalam kemah membuat kepalanya itu berkilat
seperti bersinar-sinar. Manusia ini bernama Lanabelong, Adipati Kendil. Di atas
meja, di hadapan keempatnya terletak masing-masing segelas tuak murni dan
harum. Ketiga Adipati itu telah kena dihasut oleh Mahesa Birawa dan Werku Alit
untuk memberontak terhadap Pajajaran dan kepada mereka dijanjikan kedudukan
sebagai Menteri kerajaan bila pemberontakan mereka berhasil kelak.
“Silahkan diteguk
tuaknya, saudara-saudara Adipati,” kata Mahesa Birawa pula sesudah keheningan
mengungkungi kemah itu beberapa lamanya. Masing-masing kemudian meneguk tuak
yang enak itu. Di malam yang dingin minum tuak memang enak menghangatkan tubuh.
Jakaluwing raba cambang bawuknya. Lalu bertanya:’
“Kapan kira-kira
saatnya kita akan menggempur Pajajaran, adimas Mahesa Birawa?”
“Soal penggempuran
itu kangmas Jakaluwing, sebenarnya saat ini pun kita sudah sanggup
melakukannya. Jumlah prajurit cukup, tenaga pimpinan rata-rata sudah
berpengalaman dan dapat diandalkan. Cuma kita tak enak kalau meninggalkan
saudara-saudara Warok Gluduk dan Tapak Ireng. Kedua Adipati itu telah berjanji
akan bergabung dengan kita bersama beberapa ratus prajurit-prajurit mereka. Ada
baiknya jika kita tunggu kedatangan mereka. Sesudah itu baru kita hubungi Raden
Werku Alit untuk menentukan kapan saat yang baik untuk penyerangan….” Adipati
Jakaluwing manggut-manggut.
“Begitu memang
bagus,” kata Lanabelong. Adipati berkepala sulah. Lalu diteguknya tuaknya.
“Di samping itu,
mengingat bahwa di Pajajaran tentunya terdapat tokoh-tokoh pelindung yang
berilmu tinggi maka kita musti tidak pula menyia-nyiakan bantuan yang hendak
diberikan oleh Begawan Sitaraga yang diam di puncak Gunung Halimun!”
“Ah, hebat sekali
kalau Begawan yang tersohor ini ikut di pihak kita!” kata Surablabak sambil
pukul meja.
“Sebenarnya,” kata
Mahesa Birawarpula.
“Begawan Sitaraga ini
mempunyai dendam kesumat yang masih belum terbalaskan terhadap toa Pajajaran
yaitu kakek dari Kamandaka….”
“Kalau Begawan ini
setingkat umurnya dengan kakek Kamandaka, tentu kini kira-kira sudah seratusan
usianya…” kata Lanabelong.
“Kira-kira
begitutah,” sahut Mahesa Birawa. Kemudian laki-laki ini berseru memanggil
pelayan untuk menyuruh tambah tuak di keempat gelas itu. Sesudah pelayan pergi
Mahesa Birawa buka mulut kembali.
“Besok aku akan
kirimkan dua orang kurir ke Pajajaran untuk menemui Raden Werku Alit. Kuminta
kepadanya untuk menyebar mata-mata lebih banyak, terutama di dalam istana guna
mengetahui perkembangan terakhir, terutama mencari kabar selentingan apakah gerakan
kita ini bocor atau tidak….“
“Dan jangan lupa pula
untuk meneliti pertahanan Pajajaran di mana yang lemah,” kata Lanabelong.
Mahesa Birawa mengangguk.
“Saudara-saudara
Adipati, agaknya pertemuan kita malam ini cukup. Sampai besok pagi.” Keempat orang
itu saling menjura kemudian satu demi satu meninggalkan kemah besar khusus
untuk tempat perundingan, menuju ke kemah masing-masing.
***
DELAPAN
Laki-laki itu
berjalan di liku-liku lorong bagian belakang istana dengan menundukkan kepala.
Sekali-sekali dilewatinya para pengawal. Pengawal-pengawal istana tidak menegur
atau menahan laki-laki ini karena semuanya tahu bahwa laki-laki itu adalah
Udayana, pembantu Prabu Kamandaka. Segala urusan rumah tangga sang Prabu dialah
yang mengurusnya. Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Maut Bernyanyi
Di Pajajaran Di pintu besar gedung istana sebelah belakang laki-laki ini
berhenti sebentar lalu menyeberangi halaman kecil dan masuk ke pintu sebuah
bangunan kecil yang bagus bentuknya. Justru di sini dua orang pengawal
memalangkan tombak menghentikannya.
“Aku mau ketemu Raden
Werku Alit,” kata Udayana.
“Ada keperluan apa?”
tanya salah seorang pengawal.
“Beliau sudah tahu.”
“Tunggu di sini,”
Pengawal itu masuk yang seorang tetap di tempatnya. Tak lama kemudian pengawal
yang masuk muncul kembali.
“Kau dipersilahkan
menghadap.” katanya memberi tahu. Udayana mengangguk dan memasuki pintu gedung.
Di dalam sebuah kamar yang luas, Werku Alit menyambut kedatangannya.
Ditepuktepuknya bahu Udayana.
“Bagaimana? Ada perkembangan
baru…?” Werku Alit berbadan tinggi langsing dan me-melihara kumis panjang
menjulai seperti tali, seperti raja-raja Tiongkok!
“Perkembangan baru
belum ada Raden…. Cuma ada satu berita. Mungkin sedikit banyak nya ada perlunya
juga saya sampaikan kepada Raden…”
“Bagus, katakanlah
Udayana….”
“Rara Murni adik
Kamandaka siang besok akan berangkat ke Kalijaga untuk menyambangi adik
neneknya. Dia akan pergi dengan kereta dan dikawal secukupnya….“
“Hem….” Werku Alit
menggumam dan mengusut-usut kumis talinya.
“Aku belum melihat
adanya hubungan keteranganmu ini dengan rencanaku. Tapi tunggu sebentar, coba
kupikir….” Tangan yang tadi mengusut kumis ini memijit-mijit kening. Dan tangan
itu tibatiba menepuk bahu Udayana sampai laki-laki ini terkejut.
“Aku telah melihat
kegunaan keteranganmu ini Udayana. Suruh seorang mata-mata kita menghubungi
Kalasrenggi. Katakan bahwa aku akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua
di luar tembok kerajaan.” Udaya menjura.
“Perintah Raden akan
saya jalankan,” katanya lalu cepat-cepat meninggalkan kamar itu.
* * *
Seluruh balatentara
kerajaan Pajajaran dibagi atas lima kelompok pasukan dan tiap-tiap pasukan
dibagi dua masing-masing bagian dikepalai oleh seorang yang disebut kepala
prajurit, Kalasrenggi adalah salah seorang dari kepala pasukan balatentara
Pajajaran. Sebagai kepala lWiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Maut
Bernyanyi Di Pajajaran pasukan tentu saja dia memiliki ilmu dan pengalaman yang
dapat diandalkan. Dan memang banyak orang yang mengatakan bahwa diantara lima
kepala pasukan Pajajaran maka Kalasrenggi adalah yang paling tinggi ilmunya.
Tapi sayang kepala pasukan ini, telah pula terseret ke dalam rencana busuk
Werku Alit dan Mahesa Birawa. Telah kena bujuk dan dihasut untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Prabu Kamandaka! Siang tadi seorang suruhan
Raden Werku Alit telah menemui Kalasrenggi dan menyampaikan pesan bahwa Werku
Alit akan bicara dengan dia malam ini di pondok tua di luar tembok kerajaan.
Maka malamnya dengan seorang diri berangkatlah Kalasrenggi ke ternpat yang
ditentukan itu. Dia sampai ke pondok tua itu. Sebenarnya tak pantas disebut
pondok karena sama sekali bangunan tua itu tiada mempunyai dinding dan atapnya
pun sudah sebagian melompong dimakan umur. Pondok atau lebih tepat teratak itu
sunyi saja. Tak seorang pun kelihatan di sana. Kalasrenggi berpikir tentu Raden
Werku Alit belum sampai ke sana, maka dia pun menunggulah. Dinyalakannya
sebatang rokok. Dia memandang ke angkasa. Langit kelihatan mendung.
Bintang-bintang mulai tertutup awan. Bulan menghilang dan angin bertambah besar
serta dingin. Dia tak sabaran menunggu. Rokok yang dihisapnya sudah hampir
habis. Berbarengan ketika rokok itu dibuangnya ke tanah maka dipengkolan muncul
tiga sosok bayangan. Dua dari sosok bayangan itu berhenti sedang yang satu
terus melangkah ke arah teratak itu.
“Sudah lama kau…?”
bertanya orang yang datang ini yang tak lain dari Werku Alit adanya.
“Sudah juga,” sahut
Kalasrenggi.
“Raden mau bicara apa
dengan saya?” Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun. Angin tambah
kencang.
“Ada tugas buatmu
besok Kalasrenggi,” kata Werku Alit.
“Tugas apakah,
Raden?” Hujan rintik-rintik berubah menjadi lebat. Guruh menggelegar. Kilat
menyambar. Sesosok bayangan putih dibawah penerangan kilat yang hanya sedetik
saja terangnya, kelihatan berlari sangat cepat menuju teratak tua itu. Werku
Alit dan Kalasrenggi terkejut sekali dan tangan-tangan mereka segera meraba
hulu senjata di pinggang masing-masing!
“Hujan sialan!”
Terdengar orang yang baru datang ini merutuk. Kemudian dia berpaling pada Werku
Alit dan Kalasrenggi dan berkata:
“Saudara-saudara, aku
numpang mondok samasama kalian.”
Werku Alit dan
Kalasrenggi memandang tajam pada laki-laki yang baru datang ini. Dia masih
muda, berbadan kekar dan berambut gondrong. Kedatangannya mau tidak mau
mencurigakan kedua orang itu meski ada alasan bahwa dia datang ke sana untuk
berteduh karena hari hujan lebat.
“Kau siapa?!” tanya
Kalasrenggi membentak garang. Pandangannya buas sekali. Tangan kirinya
menyelinap ke pinggang. Laki-laki muda yang dibentak memandang dengan
keheran-heranan.
“Memangnya apa aku
tidak boleh mondok di sini, Saudara?!”
“Aku tanya kau siapa
dan jangan banyak tanya!” hardik Kalasrenggi. Pemuda itu bersiul dan
menyeringai.
“Tak usahlah bicara
pakai membentak segala. Urusan kecil kalau dipersoalkan dengan kasar bisa
menimbulkan gara-gara yang tidak diingini!” Kalasrenggi dengan tidak sabar
melangkah ke hadapan pemuda itu dan hendak menempelaknya. Tapi langkahnya
dihentfkan ketika dalam kegelapan dan masih sempat rnelihat isyarat yang
diberikan oleh Werku Alit. Werku Alit tak ingin terjadi keributan yang
buntutbuntutnya bisa membocorkan rencana besamya. Karena itu dengan terancam
dia melangkah mendekati pemuda itu.
“Saudara,” kata Werku
Alit sambil memegang bahu si pemuda.
“Harap maafkan.
Kawanku memang lagi kasar berangasan habis kalah judi! Sudahlah, tak ada yang
harus kita ributkan di malam buta begini, mana hujan, mana dingin. Bukankah
begitu…?”
“Ah… tepat sekali
saudara….” jawab si pemuda. Werku Alit tersenyum. Tiba-tiba laksana kilat
cepatnya, dua jari tangan kirinya menusuk ke muka menghantam urat besar di
bagian kiri tubuh si pemuda. Tak ampun lagi pemuda itu rebah ke tanah. Sebagian
kakinya terjulur lewat atap dan segera diguyur oleh air hujan! Werku Alit
tertawa mengekeh.
“Pemuda konyol mau
banyak tingkah!”
“Tapi siapa tahu dia
bukan pemuda biasa. Raden. Mungkin mata-mata….”
“Ah, tampangnya saja
geblek, dogol, bagaimana bisa jadi mata-mata? Buktinya sekali totok saja sudah
rubuh!” Kalasrenggi memandang sosok tubuh yang menggeletak menelungkup itu. Dia
bermaksud untuk menggeledah pemuda itu namun didengarnya Werku Alit berkata:
“Sudah, tak perlu
perdulikan kunyuk itu! Mad kita muiai pembicaraan. Menurut keterangan pembantu
rahasiaku, besok siang Rara Murni akan berangkat dengan kereta ke Kalijaga.
Tugasmu culik gadis itu, sekap di kuil tua di lembah Limanaluk. Bila sudah beri
laporan sama aku biar aku tentukan langkah selanjutnya!”
“Itu tugas mudah,
Raden,” kata Kalasrenggi.
“Tapi saya ingin tahu
siapa-siapa saja yang ikut dengan Rara Murni…?”
“Aku tak mendapat
keterangan tentang hal itu. Yang penting kau harus tangkap Rara Murni
hidup-hidup. Yang lainnya kalau melawan bereskan saja, habis perkara!”
“Baiklah Raden.
Sebelum malam tiba besok, saya akan mengirimkan seseorang untuk memberitahukan
bahwa tugas sudah selesai….” Werku Alit menepuk bahu kepala pasukan itu.
“Nah, aku pergi
sekarang!” Kalasrenggi memperhatikan sampai ketiga orang itu lenyap di kejauhan
dalam kegelapan malam. Kemudian laki-laki ini memutar tubuh dan kembali matanya
memandangi manusia yang menelungkup di bawah teratak itu. Dia membungkuk hendak
menggeledah, meneruskan niatnya yang tadi batal, tapi kemudian terpikir
olehnya, perlu apa susah-susah dengan diri orang lain. Dengan seenaknya
Kalasrenggi menendang tubuh laki-laki yang menggeletak itu sehingga tubuh itu
terlontar sampai beberapa tombak! Kalasrenggi kemudian berlalu pula dari
teratak tua itu.
***
SEMBILAN
Hanya beberapa ketika
saja Kalasrenggi meninggalkan teratak tua itu maka orang yang tadi ditotok dan
ditendang anehnya tiba-tiba berdiri dengan cepat. Dia melangkah kembali ke
bawah teratak. Disekanya mukanya yang basah oleh air hujan dan berselomotan
lumpur. Diperhatikannya pakaiannya, kotor semua. Ditepuk-tepuknya pinggul
kirinya yang tadi bekas kena ditendang Kalasrenggi.
“Sialan betul! Sakit
juga tendangan kunyuk itu!” makinya seorang diri.
“Di lain hari aku
akan balas keramah tamahannya tadi!” Sesungguhnya sewaktu Werku Alit menotoknya
tadi, orang ini sudah dapat menduga gerakan dan maksud Werku Alit. Sebelum
totokan datang cepat-cepat bagian tubuh di samping kiri dialirkan dengan tenaga
dalam. Kemudian ketika totokan Werku Alit mendarat di tubuhnya, taki-laki ini
pura-pura jatuh tak sadarkan diri. Demikian juga ketika Kalasrenggi
menendangnya, dia dalam meneiungkup pura-pura pingsan masih sempat melihat
gerakan kaki orang itu dan bersiap menjaga diri sehingga waktu ditendang
tubuhnya hanya terasa pegal-pegal sedikit! Dan apa yang telah dibicarakan kedua
orang itu dapat didengarnya dengan jelas. Orang ini duduk bergelung lutut dan
berpikir-pikir. Siapakah gerangan kedua orang tadi? Siapa yang dipanggil dengan
sebutan
“raden” dan siapa
yang satu lagi? Mengapa mereka bicara di tempat terpencil dan di malam hari
berudara buruk seperti ini? Dan tugas yang diberikan oleh orang yang
dipangglkan
“raden” itu? Siapakah
Rara Murni? Apakah keduanya bukan gerombolan-gerombolan rampok pengacau? Yang
hendak menculik Rara Mumi kemudian melakukan pemerasan terhadap orang tua gadis
itu? Orang itu usut-usut dagunya. Banyak yang tak dimengertinya atas apa yang
telah dialaminya tadi. Tapi esok bila hari sudah siang dia bisa mencari
keterangan di Kotaraja. Sejak pagi sampai saat itu sudah beberapa jam dia
mengelilingi Kotaraja. Berbagai tempat dan pelosok didatanginya. Namun
tampang-tampang manusia yang dua orang yang ditemuinya malam tadi tak berhasil
dicarinya. Akhimya masuklah dia ke dalam sebuah kedai. Memang saat itu
tenggorokannya sudah seperti terbakar oleh rasa haus dan perutnya perih
keroncongan. Sambil makan dia terus juga berpikir-pikir. Rasanya tak mungkin
kedua orang yang semalam itu gerombolan-gerombolan rampok. Seorang rampok tak
akan dipanggil
“raden”. Pasti yang
dipanggil
“raden” itu seorang
bangsawan kaya. Lalu kenapa bangsawan kaya mau menculik gadis orang? Mungkin
pernah melamar tapi tak diterima? Dia menyudahi makanannya. Ketika dia
memandang berkeliling ternyata kedai itu sudah penuh dengan tamu-tamu yang
makan siang. Dengan perut kenyang dia kemudian melangkah mendekati pemilik
kedai. Ditanyakannya berapa jumlah yang harus dibayarkannya lalu diberikannya
sejumiah uang.
“lni kembalinya,
Nak,” kata orang kedai. Dia sudah tua. Rambutnya sudah putih semua.
“Ah, tak usah. Ambil
saja….” kata pemuda. Si orang tua jadi keheranan. Demikian juga beberapa orang
yang duduk di dekat sana. Pemuda yang berambut gondrong, berpakaian lusuh serta
bertampang keren tapi macam anakanak itu berlagak seperti seorang kaya raya
yang punya banyak uang, sok tak mau terima uang kembalian! Tapi perhatian orang
hanya sebentar tertuju kepada si pemuda. Masing-masing kemudian sibuk mengurusi
mulut dan perutnya sendiri. Si pemuda mendekati pemilik kedai dan berkata
pelahan:
“Uang yang kulebihkan
itu untuk membayar beberapa keterangan darimu, Bapak,” katanya.
“Keterangan?” Si
orang tua kerenyitkan kening.
“Keterangan apa…?”
“Bapak sudah lama
tinggal di Kotaraja ini?”
“Dari masih orok
sampai punya buyut!” jawab pemilik kedai pula. Hatinya masih bertanya-tanya dan
heran.
“Kenapa anak tanya
begitu?”
“Oh tak apa-apa….
Mungkin bapak kenal dengan seorang perempuan bernama Rara Murni?” Pertanyaan
ini membuat si orang tua lebih heran.
“Semua orang di
Pakuan ini tahu siapa Rara Murni,” katanya.
“Oh pantas.. pantas…
Rara Murni yang kau tanyakan itu adalah adik Sang Prabu Kamandaka!” Tentu saja
si pemuda mendengar ini jadi kaget sekali. Siapa sangka kalau Rara Murni adik
dari raja Pajajaran?! Namun dengan pandainya dia menyembunyikan kekagetannya
itu. Kemudian terdengar suara orang kedai bertanya.
“Anak muda, ada
maksud apakah kau bertanyakan adik Sang Prabu itu…?”
“Oh tidak apa-apa.
Tidak apa-apa….”
“Kalau kau bermaksud
buruk ketahuilah bahwa di Kotaraja ini banyak sekali hulubalanghulubalang Sang
Prabu yang bertelinga tajam!” Si pemuda sunggingkan senyum.
“Kau terlalu
bercuriga terhadapku, orang tua. Aku hanya seorang pemuda desa yang mendengar
kabar disampaikan dari mulut ke mulut bahwa Rara Murni adalah seorang yang
cantik jelita. Biasa bukan laki-laki tanya perempuan…?” Pemuda ini kemudian
tertawa geli. Namun tawa gelinya itu diputuskan oleh suara bentakan dari arah
pintu.
“Manusia yang berani
bicara seenaknya tentang adik Sang Prabu coba putar tubuh! Aku mau lihat
tampangnya!” .Suara itu keras dan garang. Si pemuda melihat bagaimana orang tua
di hadapannya menjadi gemetar ketakutan.
“Aku sudah bilang
apa… aku sudah bilang apa…” katanya berulang kali. Pemuda itu dengan perlahan
memutar tubuh. Di pintu dilihatnya berdiri seorang prajurit berhadapan tegap
bersenjata tombak.
“Bagus! Tampangmu
memang mirip kunyuk. Jadi cukup pantas untuk pengisi kerangkeng istana!”
Prajurit ini melambaikan tangannya. Dua orang prajurit lagi muncul di ambang
pintu.
“Tangkap pemuda
rambut gondrong itu! Dia telah menghina adik Sang Prabu!” Dengan tombak
terhunus kedua prajurit itu melangkah ke hadapan pemuda rambut gondrong.
“Sebentar saudara…
sebentar!” kata si pemuda sambil pentangkan kedua telapak tangannya ke muka.
Selarik sinar halus berhembus ke arah jalan darah kedua prajurit itu.
Dan semua mata dalam
kedai yang tak tahu menahu ha1 itu hanya menyaksikan bahwa kedua prajurit itu
hentikan langkah karena memenuhi permintaan si pemuda. Padahal dua prajurit itu
sudah kena ditotok dari jarak jauh dan berdiri kaku tak bisa bergerak tak bisa
bicara!
“Sebentar, aku mau
bicara dulu!” kata pemuda rambut gondrong kini pada prajurit yang di pintu.
“Bicara apa?! Lekas?
Katakan!” Seekor lalat terbang dan hinggap di lengan kiri si rambut gondrong.
“Ah lalat ini!
Mengganggu aku yang hendak bicara!” kata si rambut gondrong. Dengan jari-jari
tangan kanannya disentilnya lalat itu. Namun tujuan sebenarnya bukan binatang
itu. Sang lalat memang terpental mati dengan tubuh hancur tapi angin sentilan
terus menotok jalan darah prajurit yang berdiri di pintu kedai. Orang-orang
tetap melihat dia berdiri sebagaimana biasa tapi sesungguhnya tubuhnya sudah
kaku tegang! Si rambut gondrong datang ke hadapannya, pura-pura membisikkan
sesuatu lalu menepuk bahu prajurit itu dan berlalu. Orang-orang mulai menjadi
heran. Dan beberapa ketika saja sesudah pemuda aneh tadi lenyap tiba-tiba:
“Bluk… bluk… b!uk….
!” Ketiga prajurit itu rebah ke tanah susul menyusul! Begitu mencium lantai
begitu mereka kembali sadarkan diri! Kedai itu menjadi hiruk pikuk. Tiga
prajurit dengan rasa malu, geram dan amarah meluap memburu ke luar kedai tapi
si rambut gondrong sudah lama lenyap! Tiga prajurit ini tiada lain adalah anak
buah Kalasrenggi. Sewaktu pemuda rambut gondrong mengeliling Kotaraja mencari
dua manusia yang ditemuinya malam tadi di teratak tua di luar tembok kerajaan
maka tanpa setahunya sepasang mata telah menguntitnya. Yang menguntit tiada
lain dari Kalasrenggi yang saat itu tengah bersiap-siap untuk melaksanakan
tugas yang diberikan oleh Werku Alit. Ketika si rambut gondrong masuk kedai
maka dikirimnya tiga orang prajurit ke sana. Diperintahkannya untuk menangkap
pemuda itu dengan alasan yang dibuat-buat. Bila sudah ditangkap, maka
pengusutan lebih lanjut siapa adanya pemuda ini akan dilakukan Kalasrenggi
sesudahnya dia selesai melakukan tugas dari Werku Alit. Ketika mereka masuk
dengan diam-diam mereka telah mencuri dengar apa yang dipercakapkan si rambut
gondrong dengan orang kedai. lni mereka jadikan alasan untuk menalngkap pemuda
itu. Namun karena tiga prajurit ini hanyalah mengandalkan tenagatenaga lahir
yang kasar, tak mempunyai ilmu dalam maka dengan mudah si rambut gondrong
“mempermainkannya!”
***
SEPULUH
“Kalau Rara Murni
adalah adiknya Raja Pajajaran…” kata pemuda itu sambil terus juga menyusuri
jalan di bawah panas teriknya matahari musim kemarau,
“Pasti peristiwa
penculikannya mempunyai latar belakang yang besar dan buntut panjang!” Dia
menengadah ke langit.
“Ah, cepat benar
bergesernya matahari….” katanya lagi. Dan ketika dia berpapasan dengan seorang
penjual sayur mayur maka bertanyalah dia,
“Bapak, manakah jalan
yang menuju ke lembah Limanaluk?” Penjual sayur mayur itu menyeka peluh di
keningnya terlebih dahulu. Diputarnya badannya sedikit dan dia menunjuk ke
ujung jalan.
“Ikuti saja terus
jalan ini, jangan mengkol. Limanaluk sekira setengah hari perjalanan dari
sini.” Pemuda yang bertanya mengucapkan terima kasih lalu metanjutkan
perjalanannya kembali…. Kereta itu bagus dan mungil potongannya. Dua ekor kuda
coklat yang menariknya berlari kencang. Empat prajurit terpercaya mengawal
kereta ini. Dua orang di depan, dua lainnya di belakang. Debu menggebubu
sepanjang jalan yang mereka lalui. Setelah dua jam perjalanan meninggalkan
Kotapraja jalan yang ditempuh mulai banyak lobang-lobang dan batu-batunya.
Kusir memperlambat jalan kereta terutama ketika melewati satu pengkolan tajam.
Selewatnya sebuah penurunan jalan yang mereka lalui baik kembali dan menyusuri
tepi sebuah kali kecil berair jernih. Prajurit di depan sebelah kanan
melambaikan tangan memberi tanda berhenti. Ketika kereta itu berhenti maka
tersibaklah tirai jendela dan sebuah kepala berparas jelita remaja munculkan
diri ke luar.
“Ada apa berhenti?”
Suara gadis ini bertanya begitu merdu. Kepala pengawal menjura sedikit dan
menjawab:
“Kuda-kuda kita perlu
diberi minum, Tuan Puteri…” Rara Murni menutupkan tirai jendela kembali. Kusir
turun dari kereta dan membawa kedua ekor kuda coklat ke tepi kali. Enam ekor
binatang itu kemudian seperti berebutan memasukkan mulutnya ke datam air kali
yang bening sejuk. Beberapa ketika berlalu maka rombongan bersiap-siap untuk
melanjutkan kembati. Namun belum lagi kusir naik ke atas kereta empat orang
penunggang kuda muncul di tempat itu. Badan tegap-tegap dan muka mereka tak
dapat dikenali karena kepala masing-masing tertutup dengan kerudung kain hitam
yang dilubangi di bagian matanya.
“Perjalanan kalian
hanya sampai di sini!” kata penunggang kuda paling depan. Suaranya berat dan
parau, disertai dengan tenaga dalam sehingga tak mungkin untuk mengenali
suaranya yang asli. Empat pengawal kereta yang tahu bahwa manusia-manusia
berkerudung kain hitam itu datang bukan dengan membawa maksud baik segera cabut
pedang! Melihat ini orang yang tadi bicara tertawa mengekeh.
“Kalian kunyuk-kunyuk
Pajajaran kalau masih ingin selamatkan batang leher segeralah tinggalkan tempat
ini!”
“Bangsat rendah!
Berani menghina prajurit kerajaan! Terima pedangku!” bentak kepala pengawal.
Dia melompat ke muka dan pedangnya berkelebat, berkilauan ditimpa sinar
matahari! Manusia berkerudung sentakkan tali kekang kuda dan miringkan badan.
Berbarengan dengan itu kaki kanannya meluncur dengan sangat cepat. Kepala
pengawal kereta terpekik. Pedangnya lepas dan mental sedang sambungan sikunya
yang dimakan tendangan tanggal dari persendian! Dia mengeluh kesakitan,
terbungkuk-bungkuk sambil memegangi sambungan sikunya yang copot! Tiga pengawa!
yang lain tanpa banyak bicara segera menyerbu dan disambuti oleh tiga laki-laki
lainnya yang memakai kerudung. Setelah terlibat dalam dua jurus pertempuran
maka terdesaklah ketiga pengawal kereta. Sementara itu di dalam kereta,
mendengar suara ribut-ribut dan disusul dengan suara beradunya senjata dengan
hati cemas Rara Mumi singkapkan tirai jendela. Dia terkejut sekali melihat ada
sesosok tubuh berkerudung melangkah mendekati kereta. dan mengulurkan tangan untuk
membuka pintu kereta!
“Rara Murni… kau tak
usah cemas! Apa yang terjadi di,sini hanya pertunjukan biasa saja. Silahkan
turun…!”
“Kalian siapa…?!”
“Siapa kami itu tidak
penting. Turunlah….”
“Rampok-rampok
biadab! Kalau kalian tahu siapa aku segeralah tinggalkan tempat ini sebelum
pasukan kerajaan datang menumpas kalian!” Laki-laki berkerudung tertawa
bergelak. Dibukanya pintu kereta dan diulurkannya tangan kanan untuk menarik
Rara Murni keluar dari kereta. Kusir kereta yang sejak tadi seperti terpukau
melihat pertempuran yang berkecamuk di depan matanya, ketika mengetahui bahwa
Rara Murni hendak diperlakukan secara kasar segera mengambil cambuk kereta dan
menderu punggung laki-laki berkerudung.
“Rampok laknat!
Berani mengganggu adik Sang Prabu!” Dan cambuk itu mendera lagi beberapa kali.
Laki-laki berkerudung memutar tubuh. Sekali dia gerakkan tangan maka
berhasillah dia merampas cambuk itu. Dan kini cambuk itu dipakainya untuk
melecuti muka kusir kereta. Kusir ini menjerit-jerit. Kemudian dengan kalap
mencabut golok pendeknya dan menyerang si muka berkerudung. Namun hanya dengan
mengelak dan sekali tendang saja maka kusir kereta itu terpelanting ke tebing
kali, masuk ke dalam kali. Tubuhnya segera hanyut terbawa air, tenggelam timbul
karena sebelum jatuh ke dalam kali tendangan laki-laki berkerudung telah
membuatnya pingsan terlebih dulu! Pertempuran antara tiga prajurit pengawal dan
tiga laki-laki berkerudung lainnya tak berjalan lama. Ketiga pengawal itu
menggeletak di tanah bermandikan darah. Sementara itu di atas kereta Rara Murni
berusaha melawan dan meronta-ronta, menerjang dan meninju laki-laki yang hendak
menyeretnya turun secara paksa. Namun apalah kekuatan seorang perempuan. Dalam
waktu sebentar saja segera laki-laki berkerudung itu dapat membekuknya. Rara
Murni dinaikkan ke atas kuda.
“Lemparkan ketlga
mayat itu ke dalam kali!” perintah laki-laki berkerudung yang sudah naik ke
atas punggung kudanya.
“Juga kereta itu!”
Tiga mayat pengawal dilemparkan ke dalam kali. Kuda penarik kereta melonjak-lonjak
dan meringkik keras ketika tiga manusia berkerudung itu mendorong kereta ke
dalam kali!
Dalam waktu yang
singkat keempat orang itu segera berlalu. Yang tinggal kini di tempat itu hanya
bekas-bekas pertempuran, darah, mayat, kereta dan kuda yang masih terus
meringkikringkik sementara tubuhnya dengan perlahan tapi pasti tenggelam ke
dalam kali!
***
SEBELAS
Lembah Limanaluk satu
daerah yang jarang didatangi manusia. Daerah ini sunyi sepi, ditumbuhi
pohon-pohon raksasa dan semak belukar lebat. Ke sinilah keempat manusia
berkerudung itu membawa Rara Murni. Di hadapan sebuah kuil tua mereka berhenti
dan menurunkan gadis itu yang sampai saat itu masih terus juga melawan dengan
segala daya yang ada.
“Rara Murni, kalau
kau tak banyak cingcong aku tak akan perlakukan kau dengan kekerasan…”
“Lepaskan aku!”
teriak Rara Murni.
“Masuklah ke dalam
kuil sana!”
“Tidak!” dan Rara
Murni berusaha hendak lari namun tangannya segera kena dicekat. Laki-laki
berkerudung yang bertindak sebagai pemimpin tiga orang lainnya berpaling, lalu
katanya pada ketiga orang itu:
“Kalian kembalilah.
Beritahukan bahwa tugas kita berhasil baik!” Tiga laki-laki berkerudung segera
lompat kembali ke atas punggung kuda masing-masing dan meninggalkan tempat itu.
Yang seorang tadi menyeret Rara Murni ke dalam kuil. Kuil itu sebuah kuil tua
yang sudah tak dipakai lagi. Batu dindingnya sudah pada luruh dimakan umur.
Sebuah arca besar yang terdapat di pojok kuil sebagian mukanya rusak dan tangan
serta kakinya sudah buntung.
“Lepaskan aku dari
sini!” teriak Rara Murni untuk kesekian kalinya. Suaranya mulai parau.
“Kau terlalu banyak
cerewet, Rara Murni.” kata laki-laki berkerudung. Kedua bola matanya
berkilat-kilat memandangi paras dan tubuh gadis itu.
“Tapi…” kata orang
ini kemudian,
“Kau mungkin tak akan
banyak ulah bila mengetahui siapa aku.” Habis berkata begitu laki-laki ini
membuka kerudung penutup mukanya. Kaget Rara Murni bukan kepalang. Seperti tak
percaya dia akan pandangan kedua matanya. Betapakah tidak! Laki-laki
berkerudung itu ternyata adalah salah seorang kepala pasukan kerajaan yang
cukup dikenalnya.
“Kalasrenggi!”
Kalasrenggi tertawa mengekeh.
“Kau sudah lihat
mukaku dan tahu siapa aku. Apa kau juga masih mau cerewet?”
“Apa maksudmu dengan
semua ini, Kalasrenggi?!’ ,
“Apa maksudku? Kau
akan lihat saja nanti!”
“Pengkhianat!
Pengkhianat terkutuk kau Kalasrenggi! Kau sadar apa akibatnya kalau kakakku
mengetahui perbuatanmu ini?!”
“Kakakmu tak akan
pernah mengetahuinya!”
“Aku akan adukan dan
kau akan dibuang ke pulau Neraka! Tempat pengkhianatpengkhianat kerajaan!”
Kalasrenggi tertawa lagi. Matanya semakin berkilat-kilat memandangi paras Rara
Murni. Memang sesungguhnya sudah sejak lama laki-laki ini secara diam-diam
merasa tertarik dan jatuh hati terhadap Rara Murni. Kini berada berdua-dua di
tempat sunyi itu, hasrat yang terpendam itu menjadi berkobar-kobar memanasi
darah dan tubuhnya.
“Mungkin kau tak akan
pernah punya kesempatan untuk mengadu Rara Murni. Kepalamu cukup bagus untuk
jadi benda persembahan kepada kakakmu sendiri!” Rara Murni terkejut.
“Apa maksudmu?”
Kalasrenggi tertawa. Tawa yang menjijikkan Rara Murni. Katanya:
“Kalau kau mau
menuruti apa yang aku katakan, mungkin aku masih bisa menyelamatkan kau dari
kematian….”
“Kau benar-benar
pengkhianat terkutuk! Terkutuk!” Masih dengan tertawa yang menjijikkan itu
Kalasrenggi melangkah maju mendekati Rara Murni. Matanya berkilat-kilat, cuping
hidung kembang kempis dan dadanya bergejoiak. Melihat ini Rara Murni segera
melangkah mundur. Mundur sampai punggungnya membentur dinding kuil. Sebelum dia
sempat lari ke pintu jari-jari tangan Kalasrenggi yang besar-besar dan panas
digelorai nafsu telah mencekal lengannya.
“Kenapa musti
takut…?” ujar laki-laki itu. Nafasnya yang keras dan panas menghembushembus ke
muka Rara Murni.
“Keparat! Lepaskan
tanganku! Lepaskan!” teriak Rara Murni. Tiba-tiba Kalasrenggi menyentakkan
tangan itu. Rara Murni tenggelam ke dalam pelukannya yang beringas dan ganas.
Ciumannya bertubi-tubi di paras jelita gadis itu. Rara Murni memekik. Meronta
dan memekik! Badannya ditekan erat-erat ke dinding kuil oleh Kalasrenggi,
membuatnya hampir tak bisa meronta dan menghindarkan kepalanya dan ciumanciuman
laki-laki itu. Bahkan Rara Murni tak bisa berbuat sesuatu apa ketika
Kalasrenggi dengan beringasnya menarik kain yang menutupi dadanya! Rara Murni
memekik lagi ketika badannya digulingkan ke lantai kuil. Kedua kakinya
dilejang-lejangkannya. Namun lejangan-lejangan ini hanya membuat kain yang
dipakainya menjadi turun sampai ke paha. Pemandangan ini membuat nafsu yang sudah
menggejolak dalam diri Kalasrenggi jadi mengamuk dengan dahsyat. Rara Mumi
menjerit tiada henti-hentinya. Menjerit meski dia tahu bahwa jeritan itu tak
ada artinya bagi Kalasrenggi, menjerit meskipun tahu bahwa dia dalam keadaan
begitu rupa tak akan mungkin lagi menyelamatkan diri dan kehormatannya! Dalam
nafsu yang mengamuk itu mendadak Kalasrenggi merasakan sesuatu menyambar di
atas punggungnya. Belum lagi dia sempat palingkan kepala untuk melihat benda
apa yang menyambar itu maka terdengarlah suara bergedebukan di lantai kuil! Dan
sesaat bila Kalasrenggi memalingkan kepala maka terkejutlah dia, terkejut
seperti melihat setan berkepala tujuh! Tiga sosok tubuh bergeletakkan di lantai
kuil! Bukan saja tiga sosok tubuh yang bergeletakkan itu yang mengejutkan
Kalasrenggi tapi terlebih lagi ialah ketika mengenali bahwa ketiga manusia ini
adalah anak buahnya sendiri, yang tadi disuruhnya kembali ke Kotaraja untuk
memberikan laporan pada Raden Werku Alit bahwa tugas penculikan atas diri Rara
Mutni telah dilaksanakan. Nafsu yang membara di tubuh Kalasrenggi dengan serta
merta mengendur dan lenyap sama sekali. Perlahan-lahan laki-laki ini berdiri
dan meninggalkan Rara Murni yang tadi hampir saja menjadi mangsa kebejatannya.
Ketika
diperhatikannya ketiga anak buahnya itu ternyata tidak bernafas lagi alias
sudah menjadi mayat! Muka-muka mereka membiru sedang pada kening masing-masing
dilihatnya tiga deretan angka-angka 212. Muka yang biru itu diketahuinya adalah
akibat pukulan atau tamparan yang ampuh sekali. Tapi adanya angka-angka 212
pada kening ketiga orang ini adalah tidak dimengerti sama sekali oleh
Kalasrenggi! Pada saat dirinya dilepaskan oleh Kalasrenggi maka pada saat itu
pula dengan serta merta Rara Murni bangkit berdiri dan hendak lari ke pintu
kuil. Namun baru tiga langkah kedua kakinya bergerak, gadis ini hentikan
langkah, darahnya tersirap dan mukanya memucat. Pada pintu kuil sesosok tubuh
yang memakai kerudung hitam berdiri dengan bertolak pinggang. Tak bisa tidak
pastilah manusia ini anak buah Kalasrenggi juga, pikir Rara Murni… Kalasrenggi
sendiri ketika melihat bayangan seseorang di pintu kuil cepat menoleh dan
kembali mukanya dilanda rasa terkejut! Dia tidak kenal dengan manusia
berkerudung di pintu itu, tapi dia pasti betul bahwa laki-laki ini bukanlah
orangnya, tapi kerudung hitam yang dikenakannya adalah kerudung salah seorang
anak buahnya yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh itu! Bukan tidak
mustahil manusia ini pulalah yang telah menamatkan riwayat tiga anak buahnya
itu! Meski amarahnya tidak terkirakan namun Kalasrenggi tidak mau bertindak
gegabah. Sepasang matanya memandang tajam-tajam seperti mau menembus kerudung
yang menutupi kepala sosok tubuh manusia yang berdiri di pintu kuil itu!
“Tamu tak diundang,
silahkan buka kerudung!” kata Kalasrenggi. Orang yang di pintu menyeringai di
balik kerudung hitamnya. Lalu terdengarlah suara tertawanya, mula-mula mengekeh
perlahan, tapi kemudian menjadi tawa bergelak yang menggetarkan gendang-gendang
telinga serta menggetarkan dinding-dinding kuil tua itu! Kalasrenggi
bersiap-siap dengan tenaga dalamnya dan berlaku waspada. Kalau suara tertawa
manusia ini dapat menggetarkan gendang-gendang telinga bahkan menggetarkan
dinding kuil, maka ini suatu pertanda bahwa siapa pun adanya manusia ini, dia bukanlah
orang sembarangan! Dan semakin yakin Kalasrenggi bahwa orang inilah yang telah
menewaskan ketiga anak buahnya. Akan Rara Murni, kalau tadi hatinya kecut dan
takut melihat munculnya manusia berkerudung ini, maka setelah mengetahui bahwa
dia bukanlah di pihaknya Kalasrenggi, diamdiam Rara Murni menjadi sedikit lega
hatinya. Tapi dia tak tahu apakah manusia yang baru datang ini adalah tuan
penolongnya ataukah seseorang yang lebih bejat dan terkutuk dari Kalasrenggi!
Dalam pada itu dia sendiri masih belum dapat melihat tampang orang ini. Hati
Kalasrenggi serasa dibakar karena ucapannya disahuti dengan suara tertawa macam
begitu oleh si kerudung hitam. Maka berkatalah dia dengan menunjukkan nyali
besar:
“Kalau kau tak mau
buka kerudung, terpaksa aku turun tangan….” Orang berkerudung hentikan
tertawanya. Dan dia buka mulut menyahuti:
“Diri manusia tidak
diukur dari tampangnya, tapi dari hatinya! Bila dia seorang prajurit, maka
kejujuran hati, kesetiaan dan baktinya pada kerajaanlah yang menjadi ukuran!”
Merah paras Kalasrenggi mendengar kata-kata ini. Si kerudung hitam tertawa
bergumam dan berpaling pada Rara Murni dan berkata:
“Bukan begitu Tuan
Puteri Rara Murni…?” Rara Mumi tak menyahuti. Tapi dia menjadi terkejut karena
tak menyangka kalau lakilaki itu tahu namanya. Dan beratlah dugaannya bahwa
laki-lakl ini adalah orang dalam juga. Orang kerajaan juga, entah pengkhianat
entah seorang penolong. Tapi kalau dia bermaksud menolong, mengapa musti pakai
kerudung hitam segala?
“Tapi…” kata
laki-laki yang di pintu pula melanjutkan bicaranya,
“Kalau kau memang
kepingin melihat tampangku, baiklah! Aku tak keberatan untuk membuka kerudung
hitam ini. Tampangku memang buruk. Namun jika dibandingkan dengan tampangmu,
masih mendingan aku ke mana-mana!” Sambil tertawa-tawa laki-laki ini membuka
kerudung hitam yang menutupi kepalanya.
***
DUA BELAS
Bila Rara Murni
memandang ke muka maka di balik kerudung yang telah dibuka itu ternyata
laki-iaki yang berdiri di pintu adalah seorang pemuda gagah berambut gondrong. Meski
tertawanya tadi mengekeh dan bergelak namun parasnya yang gagah itu condong
kepada paras anak-anak. Sebaliknya begitu menyaksikan tampang manusia di
depannya, kedua mata Kalasrenggi menyipit, kulit mukanya mengerenyit. Otaknya
berputar dengan cepat, mengingat-ingat di mana dia pernah melihat pemuda ini
sebelumnya. Dan secepat dia ingat maka menggeramlah Kalasrenggi. Pemuda yang
ada di hadapannya saat itu tak lain daripada pemuda yang malam tadi telah
berteduh di teratak di luar Kotaraja sewaktu hari hujan lebat dan sewaktu dia
tengah bicara dengan Werku Alit! Juga pemuda inilah yang kemudian ditotok Werku
Alit! Dan dia sendiri menghadiahkan satu tendangan!
“Ingat siapa aku…?”
“Saudara, apa
urusanmu dalam hal ini?!” bentak Kalasrenggi garang. Tangan kirinya menyelinap
ke balik pinggang di mana tersisip sebilah keris.
“Ah… tentu ada saja,
Saudara. Pertama, kau telah menghadiahkan tendangan padaku malam tadi. Enak
juga tendangan itu. He,.. he… he…. Lalu, aku tidak begitu suka pada
manusiamanusia yang bersifat ular kepala dua, pengkhianat besar serta tukang
rusak kehormatan perempuan…. Apa itu kurang cukup untuk bikin urusan
denganmu?!”
“Hem….” Kalasrenggi
menggumam.
“Jadi hari ini aku
berhadapan dengan seorang pendekar budiman huh?! Satu hal yang menyenangkan
sekali!” Habis berkata begini Kalasrenggi keluarkan suara berdengus dari
hidungnya.
“Terangkan dulu siapa
kau punya nama!” katanya kemudian.
“Ah, kau keliwat
ramah tanya-tanya segala nama. Namaku sudah kutuliskan pada kening ketiga anak
buahmu!” jawab si pemuda pula. Kalasrenggi tertawa mengejek.
“Baru kali ini aku
bertemu manusia yang namanya adalah tiga buah angka. Angka-angka gila!” Si
pemuda tertawa.
“Angka-angka itu
mungkin gila! Tapi tidak segila pengkhianat macam kau Kalasrenggi!”
“Kau sudah tahu
namaku. Kenapa tidak lekas kabur tinggalkan tempat ini?!”
“Apa kabur dari sini?
L.alu kau teruskan maksud busukmu terhadap Tuan Puteri Rara Murni? Aku tidak
sebodoh dan sepengecut yang kau sangka, Kalasrenggi!”
“Kalau betul kau
punya nyali, tahan ini!” bentak Kalasrenggi garang. Dengan satu lompatan cepat
Kalasrenggi lancarkan serangan tangan kosong. Tapi serangan yang hebat ini
dapat dielakkan lawan dengan mudah bahkan sambil bersiul dan tertawatawa.
“Kalasrenggi, kalau
mau baku jotos jangan di dalam sini, mari keluar!” kata si pemuda rambut
gondrong atau pendekar 212 Wiro Sableng. Sengaja dia berkata begitu karena
khawatir dalam pertempuran nanti Rara Murni yang juga berada di ruangan itu
akan mendapat celaka.
“Tak usah banyak
mulut! Kau harus mampus disaksikan ketiga mayat anak buahku!” bentak
Kalasrenggi pula. Untuk kedua kalinya kepala pasukan Pajajaran yang berkhianat
ini menyerang, lebih hebat dari tadi. Tiba-tiba orang yang diserangnya lenyap
dari hadapannya. Kemudian di belakangnya terdengar suara siulan.
“Aku di sini
Kalasrenggi, mengapa menyerang tempat kosong?!” Kalasrenggi kertakkan rahang.
Dia berbalik dengan cepat dan menyerang lebih ganas. Tangannya bergerak cepat,
tendangan kaki bertubi-tubi. Keseluruhannya mengeluarkan angin yang keras dan
bersiuran. Agaknya permainan silat tangan kosong Kalasrenggi tidak dari tingkat
rendahan. Dari angin pukulan dan tendangannya Wiro sudah dapat menjajaki
kehebatan lawan. Karena tak mau ambil resiko pemuda ini segera bergerak cepat.
Dalam waktu yang singkat tiga jurus berlalu sebat. Pada saat memasuki jurus
keempat Wiro Sableng melihat Rara Murni melarikan diri keluar kuil. Sambil
rundukkan kepala mengelakkan hantaman tinju Kalasrenggi, Wiro Sableng berseru:
“Rara, tunggu! Jangan
pergi dulu!” Tapi mana si gadis mau dengar. Sambil menyingsingkan kainnya ke
atas Rara Murni mempercepat larinya. Terpaksa pendekar 212 lepaskan pukulan
tangan kanan ke arah kedua kaki gadis itu. Serangkum angin melesat deras dan
dingin. Rara Murni merasa kedua kakinya seperti disiram air es, kemudian kedua
kakinya itu kaku tak bisa lagi digerakkan. Larinya dengan serta merta terhenti.
Melihat lawan melakukan dua gerakan sekaligus maka kesempatan ini dipergunakan
oleh Kalasrenggi untuk membobolkan pertahanan lawan. Tendangan kaki kanan dan
tinju kiri kanan menyerang susul menyusul ke tempat-tempat terlemah dari Wiro
Sableng! Namun dengan membentak keras dan berkelebat cepat ketiga serangan
lawan dapat dikelit oleh pendekar 212. Penasaran sekali Kalasrenggi memburu
lagi dengan satu serangan berantai. Kali ini, pada saat tangan kanan
Kalasrenggi memukul ke muka, pendekar 212 sengaja menyongsong datangnya lengan
lawan. Maka beradulah lengan dengan lengan! Kalasrenggi terpekik. Tubuhnya
terpelanting ke belakang sampai punggungnya menghantam dinding kuil. Lengan
kanannya yang beradu dengan lengan lawan kelihatan biru dan bengkak besar.
Sakitnya bukan alang kepalang! Karena tadi Wiro Sableng melayaninya seperti
acuh tak acuh, Kalasrenggi tidak menduga kalau kehebatan lawan demikian lihainya.
Sesudah mengurut lengannya yang bengkak biru serta mengalirkan tenaga dalam ke
bagian yang terpukul itu maka kemudian Kalasrenggi dengan tangan kirinya
mencabut sebilah keris dari balik pinggang. Senjata ini sebuah senjata pusaka
juga rupanya karena memancarkan sinar membiru. Tanpa banyak bicara kepala
pasukan Pajajaran itu segera lancarkan serangan dahsyat. Kalasrenggi memang
seorang kidal dan permainan kerisnya juga sudah mencapai tingkat yang matang.
Apalagi dengan mempergunakan tangan kiri itu maka serangan-serangannya sukar
diduga. Namun demikian pendekar 212 sudah punya rencana sendiri terhadap
manusia kepala dua ini! Dibiarkan dan dielakkannya saja untuk beberapa lamanya
serangan-serangan keris Kalasrenggi. Kepala pasukan pengkhianat ini semakin
gemas dan geram. Dipercepatnya gerakannya namun tetap saja tiada mencapai hasil
yang dikehendakinya.
“Pegang senjatamu
erat-erat, Kalasrenggi.” kata pendekar 212 memberi ingat. Kalasrenggi masih
belum mengerti apa maksud ucapan lawannya itu. Bahkan dia sama sekali tidak
dapat melihat dengan jelas gerakan kedua tangan Wiro Sableng. Tahu-tahu saja
dirasakannya keris pusakanya terlepas dari tangan. Laki-laki ini mengeluarkan
seruan tertahan. Memandang dengan tak percaya pada tangan kirinya yang kosong!
Wiro Sableng tertawa mengekeh dan melompat ke muka. Tangan kanannya terkembang
seperti hendak mencengkeram muka Kalasrenggi. Yang diserang cepat merunduk dan
berusaha menyodokkan lipatan sikunya ke perut lawan. Tapi kali ini Kalasrenggi
tertipu. Tangan yang menyerang dan hendak mencengkeram itu hanya gerakan palsu
belaka. Tanpa dapat dikelit lagi oleh Kalasrenggi maka dua ujung jari tangan
kanan Wiro Sableng meluncur ke rusuk kirinya. Mendadak sontak detik itu juga
tubuh Kalasrenggi menjadi kaku tegang. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan
lagi, tapi mulutnya masih sanggup bicara, telinganya masih bisa mendengar,
demikian juga indera-inderanya yang lain masih tetap seperti biasa. Pendekar
212 sengaja menotok laki-laki itu demikian rupa, sesuai dengan rencananya.
Sambil tertawa-tawa dan garuk-garuk kepalanya yang berambut gondrong Wiro
Sableng memandangi Kalasrenggi beberapa lamanya. Kemudian pendekar muda ini
melangkah mendapatkan Rara Murni. Dilepaskannya totokan yang telah memakukan
kedua kaki gadis itu. Rara Murni begitu merasa kakinya bebas segera hendak lari
namun tangannya cepat dipegang oleh Wiro Sableng.
“Lepaskan tanganku!”
teriak Rara Murni.
“Terhadapku tak usah
takut, Rara Murni.” kata pendekar 212 pula.
“Kau siapa?!” tanya
Rara Murni dan berusaha melepaskan tangannya yang dipegang.
“Siapa aku itu soal
nanti. Tapi apakah kau akan tinggalkan begitu saja Kalasrenggi tanpa memberikan
satu hukuman yang setimpal terhadapnya?!”
“Aku akan laporkan
kejahatannya terhadap Sang Prabu. Pasukan Kerajaan akan menyeretnya ke Pakuan!
Dia pasti akan dibuang ke pulau Neraka!
“ Pendekar 212
tersenyum.
“Kuil ini juga bisa
menjadi tempat neraka baginya, Rara Murni. Mari, aku akan tunjukkan cara yang
bagus untuk menghukum pengkhianat dan manusia bejat macam dia!” Dengan seutas
tali pendekar 212 mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi. Kalasrenggi yang
saat itu meski tubuhnya kaku tapi masih bisa merasa, melihat dan bicara:
“Keparat! Kau mau
buat apa terhadapku?!”
“Ah, kau masih bilang
keparat, Saudara…” jawab pendekar 212 dengan tertawa.
“Pernahkah kau
melihat dunia terbalik?! Melihat dengan kaki ke atas kepala ke bawah?!”
“Apa maksudmu?!”
bentak Kalasrenggi. Tapi dalam hatinya dia sudah dapat menduga apa yang bakal
dilakukan oleh Wiro Sableng dan tubuhnya mengucurkan keringat dingin.
“Apa maksudku kita
akan saksikan sama-sama, Kalasrenggi,” kata Wiro Sableng pula. Sekali saja tali
yang mengikat kedua pergelangan kaki Kalasrenggi ditariknya maka terbantinglah
laki-laki itu ke lantai kuil. Kutuk serapah dan keluh kesakitan bersemburan
dari mulut Kalasrenggi.
“Sudahlah, jangan
memaki-maki juga, tak ada gunanya,” kata pendekar 212. Dia memandang ke atas
atap kuil dan dilihatnya sebuah tiang yang membentang memalang di bawah atap.
Ujung tali yang dipegangnya dilemparkannya ke atas. Bila ujung tali itu
menjuntai ke bawah kembali setelah terlebih dahulu menyangkut di tiang palang
maka pendekar 212 mulai mengerek badan Kalasrenggi. Gelap dunia ini bagi
Kalasrenggi. Dalam tempo yang singkat mukanya menjadi sangat merah karena darah
yang mengalir turun memberati mukanya. Laki-laki ini coba meronta, tapi
tubuhnya kaku tak bergerak, hanya terbuai-buai saja macam karung diisi pasir
dan digantung! Yang bisa dilakukan Kalasrenggi hanya memaki dan memaki tiada
habisnya dia menjadi letih sendiri. Pendekar 212 tertawa mengekeh macam
kakek-kakek. Dia berpaling pada Rara Murni sebentar lalu bertanya pada
Kalasrenggi:
“Bagaimana, indahkah
dunia ini bila dilihat terbalik…?”
“Demi setan bila
bebas aku bersumpah untuk mencincang tubuhmu keparat…!” hardik Kalasrenggi.
“Sumpahmu terlalu
hebat Kalasrenggi. Tapi bisakah kau membebaskan dirimu dari jarijari tanganku
ini…?” Dengan senyum-senyum Wiro Sableng melangkah mendekati Kalasrenggi.
Kemudian sepuluh jari-jari tangannya menggerayang menggelitiki tulang rusuk
Kalasrenggi! Laki-laki ini menjerit, melolong setinggi langit sampai suaranya
menjadi serak! Wiro Sableng tertawa senang. Rara Murni sendiri hampir-hampir
tak dapat menahan gelinya. Dan Kalasrenggi terus juga berteriak, menjerit,
melolong dan memekik dengan suaranya yang serak parau itu!
“Rara Murni, ayo
mengapa diam saja? Kalau kau ingin membalaskan sakit hatimu terhadapnya, inilah
saatnya,” kata Wiro Sableng pula. Meski amarahnya memang masih meluap terhadap
Kalasrenggi namun berada lebih lama di situ menimbulkan kekhawatiran bagi Rara
Murni. Gadis ini walau bagaimanapun tak dapat memastikan manusia yang bagaimana
adanya pemuda rambut gondrong itu, meskipun dianya telah menolong dan
menyelamatkan diri serta kehormatannya. Karenanya tanpa banyak bicara menyahuti
ucapan Wiro Sableng tadi, juga tanpa membuang waktu, Rara Murni segera lari
meninggalkan kuil itu. Kali ini Wiro Sableng tidak berbuat apa-apa lagi untuk
menahan Rara Murni, diikutinya saja gadis itu dengan pandangan mata.
“Gadis tolol!”
gerendeng pendekar 212 dalam hati.
“Dikiranya Kotaraja
dekat dari sini!”
Kemudian ketika Rara
Murni lenyap di balik kelebatan pohonpohon di lembah Limanaluk itu maka
pendekar 212 segera angkat kaki pula, menyusul dengan diam-diam dari belakang….
***
TIGA BELAS
Begitu keluar dari
lembah Limanaluk maka sesaklah nafas Rara Murni karena telah berlari itu.
Sebelumnya jangankan berlari, berjalan sejauh itu pun tak pernah dilakukannya!
Dia berhenti dan berdiri bersandar ke sebatang pohon rindang. Saat itulah baru
disadarinya keadaan pakaiannya yang tidak menutupi badannya, terutama letak
kain di bagian dadanya. Segera dibetulkannya letak pakaiannya, dirapikannya
pula rambutnya.
Dia menunggu sampai
nafasnya yang memburu dan dadanya yang sesak pulih seperti sedia kala. Saat itu
kedua kakinya pun terasa sakit. Rara Murni merasa bahwa dia tidak sendirian di
tempat itu. Dipalingkannya kepalanya. Darahnya tersirap karena begitu kepalanya
diputar maka kedua matanya membentur sesosok tubuh yang berada dekat sekali di
sampingnya. Orang ini ternyata adalah pemuda rambut gondrong yang di kuil tua
tadi!
“Letih?” tanya Wiro
Sableng dengan senyum-senyum.
Rara Murni tak
menjawab.
“Kotaraja tidak dekat
dari sini, Rara…”
“Aku tahu…”
“Lalu, mengapa
lari-lari macam begini? Mungkin juga aku membuat kau jadi takut? Rambutku yang
gondrong ini barangkali ya?”
“Saudara, kau ini
siapa sebenarnya?”
“Aku? Aku ya aku…”
jawab Wiro pula.
“Kalau kau hendak
bermaksud jahat pula terhadapku sebaiknya berlalunya saat ini juga!”
“Ah… tampangku memang
jelek, tapi aku tidak sejahat yang kau sangkakan Rara Murni. Aku hanya tak
ingin melihat kau musti lari setengah mati sampai di Kotaraja! Mungkin
seperempat jalan kau sudah mengeletak pingsan!”
Rara Murni terdiam.
Tapi kemudian dia berkata: “Walau bagaimanapun aku musti kembali ke Kotaraja
selekas mungkin…”
“Itu memang betul.
Tapi bukan dengan lari caranya. Mari ikut aku…”
“Ikut ke mana?”
“Dengar Rara, kau tak
perlu terlalu bercuriga terhadapku. Di tepi sungai sana ada beberapa ekor kuda.
Kau bisa naik kuda?”
Gadis itu menggeleng.
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
“Kalau begitu…”
katanya,
“Kau terpaksa naik
kuda bersama-samaku!”
Maka merahlah paras
Rara Mumi.
“Jangan bicara seenak
perutmu, saudara!” bentak gadis ini.
“Heh… aku toh tidak
bicara usil. Habis kalau kau tak bisa naik kuda sendiri bagaimana?”
“Aku lebih baik jalan
kaki!” sahut Rara Murni dengan hati dan suara keras.
Wiro Sableng tertawa.
“Dengar Rara Murni,
aku mempunyai firasat bahwa peristiwa penculikanmu ada ekornya. Ekor yang panjang
dan besar. Kalau Kalasrenggi berkhianat terhadap Sang Prabu, terhadap kerajaan
Pajajaran, bahkan bukan hanya sekedar berkhianat tapi juga hendak bikin celaka
terhadap kau, maka tidak mustahil masih ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan
lainnya yang turut terlibat dalam pengkhianatan ini…” Ucapan Pendekar 212 itu
memang terpikir ada benarnya oleh Rara Murni. Tapi menunggang kuda bersama
pemuda itu, tentu saja dia merasa malu sekali. Apa akan kata orang bila melihat
hal itu nanti? Kemudian didengarnya pula oleh gadis ini suara Wiro Sableng
kembali:
“Makin cepat kau
sampai ke Kotaraja semakin baik…” Rara Murni termenung sejurus. Tapi hatinya
tetap keras tak mau naik kuda bersama pemuda itu. Tanpa banyak bicara gadis ini
kemudian putar tubuhnya dan bergegas meninggalkan tempat itu. Wiro Sableng
menggerutu dalam hatinya.
“Gadis keras kepala!
Kalau sudah lecet kulit kakinya baru tahu rasa!” Dia geleng-geleng kepala dan
melangkah pula mengikuti. Beberapa lama kemudian mereka sampai di tepi sebuah
jalan umum. Selama itu tak satu pun dari keduanya yang buka mulut.
“Rara,” kata Wiro
ketika mereka sampai di jalan umum itu.
“Ada baiknya kita
berhenti istirahat di sini. Siapa tahu ada kereta atau gerobak yang lewat dan
kita bisa menumpang.” Gadis itu tak menjawab. Tapi dia menghentikan langkah
karena memang kedua kakinya sudah letih. Hampir sepuluh menit mereka berdiri di
tepi jalan itu tapi tak satu kendaraan pun yang lewat.
“Rara Murni…” kata
Wiro Sableng.
“Agaknya kau tidak
senang terhadapku…? Tak mau bicara denganku?” Rara Murni diam saja. Sebenarnya
memang tak ada yang harus ditidaksenangkannya terhadap pemuda itu. Hanya segala
apa yang tadi terjadi dan segala apa yang hampir menimpa dirinyalah yang
membuat dia jadi tak banyak bicara dan merasa bercuriga terhadap pemuda
berambut gondrong yang sampai saat itu masih belum juga diketahuinya siapa
adanya. Wiro Sableng memandang ke ujung jalan. Sepi tiada bermanusia.
“Kita berangkat lagi,
Rara…?”
“Saudara….” kata Rara
Murni untuk pertama kalinya sesudah sedemikian lama berdiam diri.
“Kau sendiri siapa
sebenarnya dan mau menuju ke mana?”
“Ah… ini pertanyaan
yang bagus sekali. Bagus sekali.” kata pendekar 212 dengan senyum-senyum.
“Siapa aku, kurasa
tidak penting. Dan ke mana aku mau menuju… aku sendiri sebenarnya juga tidak
tahu… !” Rara Murni memandang dengan sudut matanya memperhatikan pemuda itu.
Jawabannya seperti jawaban orang yang tidak betul pikirannya, atau mungkin pula
jawaban itu hanya sekedar jawaban belaka. Tiba-tiba keduanya memalingkan kepala
ke ujung jalan sebelah kanan. Di kejauhan kelihatan muncul sebuah gerobak,
ditarik oleh dua ekor lembu. Di bagian depan gerobak yang terbuka itu duduk dua
orang laki-laki. Mereka berpakaian petani sedang setengah dari gerobaknya sarat
dengan sayur mayur.
“Nasib kita baik juga
rupanya Rara,” kata Wiro Sableng. Dan ketika gerobak itu datang mendekat,
pemuda ini segera lambaikan tangannya. Gerobak berhenti.
“Saudara, apakah
kalian menuju ke Kotaraja?” Kedua orang di atas gerobak tak menjawab pertanyaan
Wiro Sableng melainkan memandang lekat-lekat pada gadis di sampingnya.
“Kalau kami tak salah
lihat,” kata laki-laki yang mengemudikan gerobak,
“Agaknya kami
berhadapan dengan Tuan Puteri Rara Murni, adik Sang Prabu Pajajaran…” Rara
Murni mengangguk dan kedua orang itu segera turun dari kereta lalu menjura.
“Ada hal apakah
sampai Tuan Puteri berada di tempat ini…?” tanya laki-laki yang memegang kemudi
gerobak. Kedua matanya kemudian melirik sekilas pada Wiro Sableng, lalu melirik
pada kawannya. Rara Murni hanya menarik nafas panjang. Karena mengira pemuda
rambut gondrong dan berpakaian sederhana itu adalah hamba sahaya atau pembantu
Rara Murni maka yang ditanya menjawab dengan anggukan kepala acuh tak acuh.
Seorang dari mereka kemudian berkata pada Rara Murni:
“Jika Tuan Puteri
bermaksud hendak kembali ke Pakuan, kami tentu saja bersedia bahkan merasa
berkewajiban untuk membawa Tuan Puteri. Tapi maafkanlah keadaan kereta kami,
kotor dan penuh sayuran…”
“Itu tak menjadi apa,
pokoknya asal sampai ke Kotaraja.” Yang menjawab adalah Wiro Sableng. Ini
mengesalkan kedua orang itu. Kemudian mereka menolong Rara Murni naik ke atas
gerobak. Gadis itu duduk di sebelah muka, di samping pengemudi sedang kawannya
bersama Wiro Sableng duduk di sebelah belakang, di samping tumpukan sayur. Tak
lama kemudian gerobak itu pun bergeraklah.
***
EMPAT BELAS
Kesunyian sepanjang
jalan itu kini dipecahkan oleh suara deru roda gerobak. Sekalisekali diselingi
dengan gemeletakkan- gemeletakkan bila roda gerobak menggilas bebatuan atau
suara kayu-kayu kendaraan itu bergerobyakan ketika salah satu rodanya memasuki
lobang jalanan. Saat itu masih cukup jauh dari Kotaraja, Pendekar 212 duduk
melunjurkan kedua kakinya di bagian belakang kereta. Matanya terpejam-pejam
oleh hembusan angin siang yang sejuk. Beberapa kali dia sudah menguap. Orang
yang duduk di hadapannya senantiasa membuang muka, segan atau tepatnya tak
senang memandang pada pemuda ini yang sebentarsebentar menguap,
sebentar-sebentar menggaruk kepalanya yang berambut gondrong. Beberapa saat kemudian
Wiro Sableng membuka juga kedua matanya. Dia menggeliat. Ini menambah
ketidaksenangan orang yang di hadapannya.
“Saudara, aku minta
mentimunmu satu….” kata Wiro Sableng. Dan tidak menunggu jawaban pemilik
sayuran itu langsung saja Wiro Sableng mengambil sebuah mentimun besar dan
menggerogotinya. Orang yang di depan Wiro Sableng memaki dalam hati. Rahangnya
terkatup rapat-rapat.
“Rara Murni…” seru
Wiro Sableng tiba-tiba.
“Apakah kau suka
makan mentimun?” Di bagian depan kereta Rara Murni berpaling sebentar tapi tak
menjawab.
“Panas-panas begini
enak sekali makan mentimun, untuk pelepas haus dan mendapatkannya tak usah
susah payah…”
“Terima kasih… aku
tidak haus, Saudara….” Terdengar jawaban gadis itu.
“Hem….” Wiro Sableng
menggumam dan terus juga mengunyah mentimun dalam mulutnya, dan gerobak terus
juga bergerak menempuh jalan berdebu dan berlobang serta berbatu-batu. Di
bagian belakang kereta Wiro Sableng mengusap-usap perutnya. Telah tiga butir
ketimun amblas ke dalam perut itu dan betapa asamnya tampang orang yang di
hadapannya. Kini kembali Wiro Sableng memejamkan matanya. Kalau perut sudah
kenyang memang kantuk segera datang. Mendadak gerobak itu dibelokkan ke sebuah
jalan buntu yang menuju sungai oleh pengemudinya. Begitu gerobak berhenti maka
terdengarlah suara Rara Murni bertanya:
“Saudara, kenapa ke
sini dan berhenti di sini?” Pengemudi gerobak tertawa mengekeh. Tiba-tiba
tertawanya yang menjijikkan itu lenyap dan diganti dengan teriakan Rara Murni.
Dan di bagian belakang kereta sendiri petani yang duduk dihadapan Wiro Sableng
tiba-tiba mencabut sebatang golok dari balik pinggang. Begitu golok tercabut
keluar dari sarungnya tanpa menungu lebih lama segera dibacokkan ke kepala Wiro
Sableng yang saat itu masih pejamkan mata, keenakan tidur-tidur ayam tertiup
angin sejuk sepanjang perjalanan! Satu jengkal lagi mata gotok yang tajam akan
membelah batok kepala pendekar 212, maka terdengarlah bentakan menggeledek.
“Ciaaat!” Tubuh
petani yang menyerang terpental ke luar gerobak. Goloknya lepas dan tubuh itu
kemudian tergelimpang di tanah dengan perut pecah dihantam tendangan! Manusia
ini hembuskan nafas tanpa keluarkan sedikit suara pun! Pandangan bola mata
pendekar 212 menyorot bersinar.
“Kentut betul!”
makinya dan meludahi muka mayat petani ini.
“Orang lagi enak-enak
tidur mau dibacok, rasakan sendiri! Puah…!” Diludahinya lagi muka mayat itu
kemudian dipalingkannya kepalanya dengan cepat. Rara Murni tengah meronta-ronta
melepaskan cekalan petani yang mengemudikan gerobak sayur.
“Saudara, tolong
aku!” teriak gadis itu pada Wiro Sableng.
“Petani sialan!”
gerendeng Wiro Sableng seraya melompat dari atas gerobak.
“Budak hina! Pergi
dari sini atau kutebas batang lehermu!” teriak laki-laki yang mencekal Rara
Murni.
“Sreet!” Dicabutnya
sebuah golok dari batik pinggang.
“Hemmm… jadi kau
hanyalah seorang rampok bejat yang berkedok sebagai petani huh? Seekor serigala
yang berbulu domba…. Lepaskan gadis itu atau jidatmu kubikin rengkah!”
“Anjing buduk tak
tahu diri, dikasih kebebasan malah minta mampus!” Dengan tangan kirinya
pengemudi gerobak itu totok tubuh Rara Murni. Melihat kelihayan totokan
laki-laki itu pendekar 212 segera maklum bahwa orang itu bukanlah seorang
petani biasa atau pengemudi gerobak yang bodoh, tapi seorang pendekar lihay
yang tengah menyamar! Maka ketika senjata lawan berkelebat ke arah kepalanya
pendekar 212 bergerak cepat dan tak mau kasih peluang lagi. Pengemudi gerobak
itu buka matanya lebih lebar sewaktu melihat orang yang diserangnya tenyap dari
hadapannya. Sambaran goloknya yang deras mengenai tempat kosong. Ini membuat
laki-laki itu terdorong ke muka dan pada saat inilah kedua matanya melihat
sosok tubuh kawannya yang menggeletak di tanah dengan perut pecah!
Berdiri bulu kuduk
laki-laki ini. Tapi hanya sebentar saja. Rasa ngeri ini segera digantikan
dengan rasa geram dan amarah yang meluap. Tubuhnya diputar kembali, untuk kedua
kalinya berkiblatlah senjatanya menyerang Wiro Sableng. Tapi kali yang kedua
ini justru adalah saat kematiannya! Senjatanya lagi-lagi menghantam angin
kosong dan sebelum dia sempat mengirimkan serangan berikutnya maka lima jari
tangan dilihatnya berkelebat dekat sekali ke arah keningnya, tak bisa dipapaki
dengan golok, tak bisa dikelit dengan kecepatan yang bagaimanapun!
“Plaaak!” Telapak
tangan kanan pendekar 212 mendarat di kening laki-laki itu, disusul dengan
suara jerit kesakitan. Laki-laki itu terguling ke tanah tidak sadarkan diri
lagi. Kulit keningnya hitam seperti terbakar dan di bagian tengah kulit kening
itu terteralah angka 212. Laki-laki ini bernasib masih untung dari kawannya
karena pendekar 212 tidak menamatkan riwayatnya. Wiro Sableng melepaskan
totokan yang mengakukan tubuh Rara Murni.
“Hari ini nasibmu
sial terus-terusan rupanya, Rara,” kata pemuda itu dengan senyum-senyum. Si
gadis tak berkata apa-apa. Mukanya masih agak pucat. Dan Wiro Sableng berkata
lagi:
“Tapi ada juga
untungnya. Gerobak ini sekarang jadi milik kita. Ayo kita teruskan perjalanan.
Rara Murni naik kembali ke atas gerobak. Wiro Sableng mengemudikan gerobak itu.
Sepanjang perjalanan gadis itu tak habis pikir. Pemuda yang duduk di sampingnya
itu bertampang gagah, tapi aneh dan juga lucu. Dan di samping itu kehebatan
yang telah disaksikan sendiri olehnya tadi diam-diam membuat dia mengagumi si
pemuda. Dan sampai saat ini Rara Murni tidak tahu sama sekali siapa nama pemuda
itu! Beberapa jauh di luar tembok kerajaan, Wiro Sableng menghentikan gerobak.
Dia berpaling ke samping. Lalu berkata:
“Rara, Pakuan sudah
di depan mata. Aku mengantarkan kau hanya sampai di sini. Kau bawalah terus
gerobak ini, tak susah untuk mengemudikannya….”
“Kau sendiri hendak
ke mana, Saudara?” tanya Rara Murni heran. Pendekar 212 tertawa.
“Ke mana aku mau
pergi itulah satu hal yang aku tidak bisa jawab,” ujar Wiro Sableng pula.
“Cuma pesanku, jangan
lupa untuk mengatakan segala kejadian yang kau alami pada Sang Prabu. Kurasa
peristiwa-peristiwa yang kau alami itu mempunyai latar belakang. Dan bukan
mustahil kalau masih ada pembesar-pembesar istana lainnya yang menjadi
pengkhianat macam Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk. Kemudian Wiro Sableng
berkata lagi:
“Juga jangan lupa
mengirimkan sepasukan prajurit ke kuil di lembah Limanaluk itu untuk membekuk
Kalasrenggi….” Rara Murni mengangguk untuk kedua kalinya. Ketika dilihatnya
pemuda rambut gondrong itu memutar tubuh hendak berlalu, gadis ini cepat-cepat
berkata:
“Saudara… tunggu
dulu.” Pendekar 212 putar tubuhnya kembali.
“Ada apakah Rara…?”
“Aku belum bilang
terima kasih pada kau…”
“Ah….” Wiro Sableng goyangkan
tangannya,
“Tak usah… tak usah.
Itu hanya kebetulan saja….”
“Sang Prabu mungkin
akan banyak bertanya tentang kau. Kurasa lebih baik kau ikut sama-sama ke
istana.”
“Terima kasih. Tapi
aku ada urusan lain Rara….” jawab Wiro Sableng.
“Lalu kalau hem…
kalau Sang Prabu bertanya siapa namamu, bagaimana aku musti menerangkannya?”
Wiro Sableng tertawa.
“Nama itu sebenarnya
tidak ada arti apa-apa. Rara. Kita semua dilahirkan tidak bernama. Orang-orang
tua kita yang memberi nama dan itu hanya kebiasaan saja….”
“Jadi, apakah kau
tidak punya nama?” tanya Rara Mumi pula. Wiro Sableng tertawa lagi.
“Namaku tidak penting
Rara. Tapi kalau kau penasaran ingat-ingat angka ini….” Habis berkata begitu
ditariknya saja ujung bawah kain yang dikenakan Rara Murni. Dan dengan ujung
jari tangannya, dengan mempergunakan tenaga dalam tentunya, maka dituliskannya
tiga rentetan angka 212. Rara Murni memperhatikan angka itu.
“Dua satu dua…:”
desisnya. Diangkatnya kepalanya hendak mengatakan sesuatu pada pemuda itu.
Namun dia terkejut dan tak habis heran. Si pemuda sudah tak ada lagi di
hadapannya, seakan-akan gaib lenyap ditelan bumi. Rara Murni memandang
berkeliling. Tapi pendekar 212 tetap saja tidak kelihatan. Gadis itu menghela
nafas panjang.
“Pemuda aneh… agak
ceriwis… tapi berhati polos….” kata Rara Murni dalam hati. Dicambuknya
sapi-sapi penarik gerobak. Gerobak itu pun bergeraklah menuju pintu gerbang
Kotaraja. Tentu saja Prabu Kamandaka sangat terkejut ketika mendapat keterangan
dan mengetahui apa yang telah terjadi atas diri adiknya. Sepasukan prajurit
kerajaan segera dikirim ke lembah Limanaluk. Tapi mereka datang terlambat
karena saat itu pengkhianat Kalasrenggi sudah tak bernafas lagi, mati
tergantung dengan darah bercucuran dari hidung, mata serta telinga! Rara Murni
sendiri, secara diam-diam menyuruh beberapa orang kepercayaannya untuk mencari
jejak Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, namun usaha mereka
siasia belaka. Hari itu juga di seluruh Kerajaan diadakan pembersihan, termasuk
di dalam istana. Tapi hasilnya tidak memuaskan sama sekali. Bahkan biang racun
pengkhianat yaitu Raden Werku Alit tetap tenang-tenang saja di tempatnya di
dalam gedungnya yang mewah di lingkungan istana. Siapa yang menduga kalau
saudara sepenyusuan dari Sang Prabu sendiri yang menjadi tokoh pengkhianat
terbesar? Satu-satunya orang yang ditangkap dalam pembersihan yang diadakan
ialah petani yang menggagahi Rara Murni di tengah jalan sewaktu naik gerobak.
Namun sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, petani ini berhasil merampas pedang
seorang perajurit dan menghunjamkannya ke batang lehernya. Tak ampun lagi
manusia itu meregang nyawa di situ juga. Siapakah petani ini sesungguhnya?
Siapa pula kawannya yang telah ditamatkan riwayatnya oleh pendekar 212
sebelumnya? Mengapa pula petani yang satu itu memutuskan untuk membunuh diri
sendiri? Dia dan kawannya tiada lain adalah mata-mata kaki tangan kaum
pemberontak yang dikirimkan oleh Mahesa Birawa untuk menemui Raden Werku Alit
dan menyelidiki suasana di Pajajaran menjelang saat-saat penyerangan total
diadakan! Seperti yang diceritakan di atas, dalam perjalanan menuju ibu kota
kerajaan yaitu Pakuan, mereka telah bertemu dengan Rara Murni, adik Sang Prabu,
bersama seorang laki-laki gondrong yang mereka sangkakan hamba sahaya Rara
Murni. Maka saat itu timbullah niat mereka untuk menculik gadis itu dan
membawanya ke tempat persembunyian kaum pemberontak di kaki Gunung Halimun.
Namun maksud mereka itu membawa celaka kepada diri mereka sendiri. Yang satu
mati dihajar pendekar 212. Yang satu lagi roboh pingsan di tengah jalan
kemudian ditangkap oleh serdadu-serdadu kerajaan tapi berhasil bunuh diri
sebelum dibawa ke hadapan Sang Prabu, sebelum dipaksa untuk memberikan
keterangan!
***
LIMA BELAS
Malam itu untuk
kesekian kalinya di dalam kemah besar diadakan pertemuan kali ini sangat
penting sekali rupanya karena di luar kemah itu dijaga dengan ketat oleh para
pengawal. Pertemuan ini bukan saja penting karena datangnya dua tokoh sekutu
dari kaum pemberontak yaitu Adipati Warok Gluduk dari Rajasitu dan Adipati
Tapak Ireng dari Ratujaya, tapi juga karena kabar yang dibawa oleh seorang
kurir Raden Werku Alit dari Kotaraja. Sebagaimana biasa pertemuan penting ini
di:pimpin oleh Mahesa Birawa yang duduk di kepala meja. Setelah mempersilahkan
kelima Adipati meneguk minuman masing-masing maka Mahesa Birawa segera membuka
pembicaraan.
“Pertama sekali
perkenankanlah saya atas nama Adipati-Adipati yang terdahulu datang ke sini dan
juga atas nama Raden Werku Alit, mengucapkan selamat datang pada Adipati Warok
Gluduk dan Adipati Tapak Ireng. Kemudian kami juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas tekad Adipati-Adipati berdua untuk
bersedia membantu dan bersekutu dalam perjuangan mencapai cita-cita kita yang
besar yaitu menggulingkan Pajajaran, menumbangkan Kamandaka dari takhta
kerajaannya karena sesungguhnya selama Raden Werku Alit masih hidup maka
Kamandaka tidak punya hak sama sekali untuk menjadi Raja Pajajaran….” Mahesa
Birawa memuntir-muntir kumisnya yang melintang dua tiga kali lalu melanjutkan
bicaranya:
“Kedua kalinya,
pertemuan ini adalah juga untuk membahas keterangan yang telah disampaikan
kurir dari Kotaraja. Diterangkan bahwa dua orang mata-mata kita tertangkap.
Yang satu terbunuh dan yang satu lagi bunuh diri. Mayat mereka dibuang ke kali.
Mengenai peristiwa ini ada sedikit keterangan yang bersimpang siur sehingga
belum dapat saya menarik satu kesimpulan bagaimana sampai kedua matamata kita
itu mengalami nasib demikian rupa. Kabar keterangan yang paling buruk ialah
bahwa salah seorang pembantu utama kita yaitu kepala pasukan Kalasrenggi juga
telah menemui kematiannya. Dia digantung di sebuah kuil tua di lembah
Limanaluk. Mengenai kematian Kalasrenggi ini ada hal-hal aneh dan keterangan
yang agak bersimpang siur. Menurut kurir Raden Werku Alit, ketika pasukan
kerajaan datang ke kuil itu, Kalasrenggi sudah tidak bernafas, digantung kaki
ke atas kepala ke bawah dan pada keningnya tertera guratan-guratan yang
membentuk tiga buah angka yaitu angka 212….” Mahesa Birawa memandang
berkeliling dan melihat paras-paras Adipati itu keheran-heranan.
“Sukar diduga siapa
sebenarnya yang membunuh Kalasrenggi dan juga tak dapat ditafsirkan apa arti
angka 212 itu! Di samping itu, sesudah kejadian itu Sang Prabu memerintahkan
pembersihan besar-besaran di kerajaan. Namun semua orang kita sudah menyingkir.
Dan menurut Raden Werku Alit sampai saat dia mengirimkan kurir itu masih belum
ada kecurigaan terhadap dirinya. Namun demikian dalam sehari dua ini dia akan
segera berangkat ke sini untuk berunding terakhir kali, menentukan kapan
penyerangan dilakukan terhadap Pajajaran. Raden Werku Alit berharap agar kita
terus dalam kesiap siagaan…..” Sunyi sebentar, Adipati Lanabelong dari Kendil
yang berkepala sulah meneguk tuaknya, mengumur-ngumurkan minuman itu dalam
mulutnya beberapa lama, lalu bertanya:
“Sampai saat ini
berapakah kekuatan balatentara Pajajaran?”
“Menurut keterangan
Kalasrenggi sebelum menemui kematiannya tempo hari sekitar dua ribu lebih.
Memang jumlah kekuatan mereka lebih dari kita. Kita cuma sekitar seribu enam
ratusan. Tapi janganlah itu menjadi kekhawatiran para Adipati sekalian. Mengapa
aku katakan tak usah khawatir sebabnya begini. Pertama, dalam peperangan itu
jumlah yang besar tidak selamanya menentukan untuk mencapai kemenangan. Sering
pasukan yang lebih sedikit sanggup mengalahkan pasukan yang lebih besar. Ini
adalah disebabkan bahwa sesungguhnya unsur kekuatan atau jumlah tidak terlalu
menentukan tapi unsur taktiklah yang lebih menentukan. Dengan taktik yang
tinggi serta matang, dengan mengetahui di mana kelemahankelemahan pertahanan
pasukan Pajajaran, pasti kita dalam sekejapan mata bisa mengobrakabrik mereka!
Kedua, dalam peperangan kecepatan tempur atau waktu penyerangan yang tepat
adalah sangat menentukan. Bila lawan sedang lengah, meskipun jumlahnya besar,
sanggup dikacau balaukan dan disapu bersih oleh sepasukan kecil saja. Demikian
pula dengan kita. Kita akan menyerang dengan tiba-tiba, dengan menyergap!
Pajajaran hanya baru akan mengetahui bila balatentara kita sudah berada di
depan mata hidung mereka! Dan saat itu mereka tak akan ada waktu lagi untuk
mempersiapkan diri. Aku rasa dengan berpegang teguh pada dua hal itu, tidak
sukar bagi kita untuk membereskan Pajajaran. Apalagi para Adipati di sini bukan
pula manusia-manusia berilmu rendah. Sedikit banyaknya adalah murid-murid dari
perguruanperguruan silat yang ternama juga, bukankah demikian?” Kelima Adipati
itu sama mengulum senyum. Memang rata-rata mereka dalah pewaris ilmu-ilmu silat
dari pelbagai cabang dan aliran dan ilmu-ilmu mereka tidaklah dapat dianggap
ilmu pasaran yang rendah belaka!
“Di samping itu,”
kata Mahesa Birawa pula,
“Jangan pula kita
lupakan bantuan yang akan diberikan oleh seorang tokoh dunia persilatan yang
terkenal yakni Begawan Sitaraga….”
“Oh, jadi Begawan
sakti yang diam di puncak Gunung Halimun itu membantu kita pula?” tanya Warok
Gluduk, Adipati dari Rajasitu.
“Ya,” sahut Mahesa
Birawa.
“Bagaimana sampai
Begawan ini mau membantu perjuangan kita?” tanya Tapak Ireng.
“Setahuku dia mempunyai
pertikaian dengan Toa Kamandaka….
“ jawab Mahesa Birawa
pula.
“Kalau benar begitu,
satu hari saja Pajajaran pasti sudah sama rata dengan tanah….” kata Warok
Gluduk sambil mengusap-usap dagunya. Dan dibayangkannya kedudukan yang bakai
diterimanya bila pemberontakan mereka berhasil nanti!
* * *
Waktu itu hari hujan
rintik-rintik. Angin malam bertiup kencang dan dingin. Sosok tubuh itu berjalan
dengan acuh tak acuh. Tidak perduli hujan rintik-rintik, tidak perduli angin
kencang, tidak perduli segala rasa dingin yang menyembilui tulang-tulang
sumsum. Dia berjalan terus bahkan sambil bersiul-siul. Sesampainya di ujung
jalan itu maka disusurinya tembok tinggi dan sekali-sekali, dalam jarak-jarak
tertentu dilewatinya seorang pengawal bersenjata lengkap. Di hadapan sebuah
pintu gerbang yang dikawal oleh delapan orang perajurit berhentilah pemuda itu.
Dia memandang ke kiri dan ke kanan, memandang ke atas pintu gerbang lalu
memandang pada barisan pengawal dengan pandangan orang bodoh. Pengawal-pengawal
pintu gerbang mula-mula memandang saja dengan penuh curiga namun kemudian salah
seorang daripadanya membentak:
“Pemuda gondrong! Ada
apa kau celangak celinguk di sini?!” Dibentak malahan pemuda itu tersenyum.
“Apa kau tidak tahu
berada di mana saat ini?!” bentak prajurit pengawal yang lain.
“Ah… itulah yang aku
mau tanya, saudara. Apakah ini istananya Sang Prabu Raja Pajajaran?” Delapan
pasang mata prajurit pengawal memandang dari atas ke bawah. Tak ada kesimpulan
lain bagi mereka daripada berpendapat bahwa tentulah pemuda berambut gondrong
itu seorang yang kurang ingatan. Seorang prajurit yang agak berumur maju ke
muka.
“Orang muda, ini
memang istana Raja Pajajaran. Siapapun tak diperkenankan berdiri lama-lama di
sekitar sini….” Pemuda itu garuk-garuk kepalanya.
“Kalau berdiri di
sini tidak boleh… tentu masuk lebih tidak boleh lagi….
“ katanya perlahan
seperti pada dirinya sendiri.
“Berlalulah dari
sini,” kata prajurit tadi.
“Tapi, aku mau
bertemu dengan Rara Murni….” kata si pemuda. Prajurit tua itu tertawa.
“Tak seorang pun yang
diizinkan bertemu dengan Tuan P.uteri, apalagi kau….”
“Ini urusan penting
sekali, Saudara!” desak si pemuda. Salah seorang prajurit yang lain, yang sudah
tak sabaran berkata:
“Pemuda gila,
berlalulah dari sini. Atau pangkal tombakku akan membenjutkan kepalamu!” Tapi
si pemuda tidak memperdulikan ancaman itu.
“Saudara pengawal,
dengarlah,” katanya.
“Aku pernah kenal
dengan Rara Murni. Mungkin aku lebih kenal padanya dari kalian semua di sini.
Aku musti ketemu dengan dia. Katakan saja bahwa ada seorang pemuda berambut
gondrong bernama 212 mau bertemu dengan dia. Pasti dia tahu dan mengizinkan aku
masuk….” Kedelapan prajurit pengawal itu tertawa membahak. Beberapa di
antaranya malah mencibir. Dan seseorang di antara mereka berkata:
“Kau salah alamat,
kawan. Mustinya kau datang ke rumah dukun Gendong di kampung Andawa, minta obat
kepadanya agar otakmu yang geblek sinting itu bisa diperbaikinya!”
“Siapa bilang aku
sinting?!” radang si pemuda rambut gondrong.
“Kau memang tidak
sinting! Tapi berotak miring atau setengah gila!” Dan gelak membahak terdengar
lagi di depan pintu gerbang istana itu!
“Kalau kalian tidak
mau kasih aku masuk, tak apa,” kata si pemuda yang tiada lain daripada pendekar
212 Wiro Sableng.
“Tapi satu hal aku
katakan, aku tidak gila. Kalianlah semua yang gila tertawa tiada pangkal
sebab!” Habis berkata begini pemuda itu berlalu, melangkah sambil bersiul-siul.
Rara Murni seperti tidak percaya pada pemandangannya ketika melihat pintu
terbuka dan dua sosok tubuh masuk ke dalam. Yang seorang adalah inang
pengasuhnya, seorang perempuan tua, sedang yang satu lagi adalah pemuda rambut
gondrong yang pernah menolongnya tempo hari.
“Kita bertemu lagi,
Rara,” kata Wiro Sableng.
“Di pintu gerbang aku
tak diperbolehkan masuk, terpaksa lompat lewat tembok dan memaksa perempuan tua
ini untuk memberitahukan kamarmu…. “
“Ada apakah kau
datang ke sini, Saudara 212?” tanya Rara Murni.
“Ah… rupanya kau
masih belum melupakan angka itu. Bagus sekali! Mengapa aku datang ke sini….
Untuk bertemu dengan kau tentunya.” kata pendekar 212 pula seraya menyandarkan
punggungnya ke pintu yang tadi ditutupkannya. Merah paras Rara Murni mendengar
kata-kata Wiro Sableng. Tentang diri penolongnya ini memang tak pernah
dilupakannya, terutama mengingat kehebatannya. Maka bertanya pula dia:
“Mengapa kau ingin
ketemu aku…?”
“Oh, jadi tak boleh
ketemu?”
“Bukan begitu
maksudku, Saudara….”
“Dengar Rara, aku
musti bertemu dan bicara dengan Sang Prabu malam ini juga….” Rara Murni
terkejut.
“Ada urusan apa…?”
“Urusan penting.
Penting sekali….” Rara Murni berpikir-pikir. Pemuda ini selama dikenalnya meski
ceriwis dan suka bicara ngelantur tapi hatinya polos. Namun demikian dia masih
belum tahu siapa adanya pemuda ini. Bukan mustahil dia adalah seorang
pengkhianat macam Kalasrenggi tapi yang menjalankan taktik secara lain.
Purapura menolong pertama kali, kemudian bila tiba saatnya akan menggolong.
“Katakan saja urusan
pentingmu itu, saudara. Nanti aku yang sampaikan kepada Sang Prabu….”
“Ini bukan urusan
perempuan, Rara Murni.” kata Wiro Sableng pula. Rara Murni yang lebih
mementingkan keselamatan kakak kandungnya Prabu Kamandaka menjawab:
“Maaf, walau
bagaimanapun aku tak dapat mempertemukan kau dengan Sang Prabu….” Wiro Sableng
tak berkata apa-apa. Digaruknya kepalanya.
“Sukar memang untuk
percaya pada manusia macamku. Tapi biarlah, bertemu dengan kau puas juga
hatiku.” Pendekar itu tertawa dan kembali melihat bagaimana kedua pipi Rara
Murni menjadi merah. Tiba-tiba tangan kirinya dihantamkan ke muka dengan
telunjuk terpentang lurus-lurus. Tanpa keluarkan suara inang pengasuh yang tadi
berlutut kini rebah tiada sadarkan diri. Rara Murni hendak menjerit. Tapi
mulutnya ditekap oleh Wiro Sableng. Pemuda ini berkata:
“Rara, perempuan itu
tak apa-apa. Aku hanya menotoknya agar jangan sampai dia membocorkan rahasia.
Ketahuilah, istanamu ini kini penuh dengan pengkhianatpengkhianat. Aku tak tahu
siapa yang menjadi biang pengkhianat! Kalau tahu siang-siang sudah kupuntir
kepalanya dan kubawa ke hadapan Sang Prabu. Kuharap besok pagi atau malam ini
juga kau bawalah Sang Prabu ke kamarmu ini dan baca pesanku ini?” Habis berkata
demikian pendekar 212 melangkah ke dinding dan pergunakan jari telunjuknya
untuk menulis. Menulis serentetan syair yang mengandung nasihat dan peringatan.
Dalam waktu yang dekat akan pecah pemberontakan Pemberontakan menggulingkan
Sang Prabu dari takhta kerajaan Istana penuh dengan pengkhianat-pengkhianat
bermuka jujur tapi berhati seculas setan Siapkan bala tentara di luar tembok
kerajaan 212
“Samapi ketemu lagi
Rara Murni.” kata pendekar 212 Wiro Sableng sehabis menulis rentetan syair itu.
Lalu cepat-cepat ditinggalkannya kamar itu. Rara Murni memburu ke pintu tapi si
pemuda sudah lenyap. Ketika malam itu juga Rara Murni menemui Sang Prabu dan
menerangkan tentang kedatangan pemuda aneh itu maka terkejutlah Prabu
Kamandaka. Dengan langkah besarbesar dan tanpa pengawal sama sekali Raja
Pajajaran itu bersama adiknya pergi ke kamar. Dan memang apa yang tertulis di
dinding kamar cocok seperti apa yang diterangkan adiknya. Dinding kamar itu
dari batu dan dilapisi dengan marmer putih yang sangat keras. Dengan pahat
sekalipun akan sukar menuliskan rentetan syair itu. Tapi si pemuda aneh telah
menuliskannya dengan ujung jari!
“Bagaimana pendapat
Kanda?” tanya Rara Murni kepada kakaknya.
“Pemuda itu tentu
seorang yang sakti luar biasa.” kata Prabu Kamandaka.
“Tapi apa yang
dituliskannya di dinding ini, adalah satu hal yang aku belum bisa percaya.
Tentara kerajaan telah mengadakan pembersihan. Dan tak seorang pengkhianat pun
ditemukan….”
“Mungkin mereka semua
sudah menyingkir dan mempersiapkan diri di satu tempat yang tersembunyi di luar
kerajaan,” kata Rara Murni pula. Prabu Kamandaka mengusap-usap dagunya. Lalu
katanya:
“Rahasiakan tentang
tulisan ini, Dinda. Meski aku tak percaya, aku akan mengadakan penyelidikan
juga.” Sesudah itu, keluarlah Kamandaka dari kamar adiknya.
***
ENAM BELAS
“Berhenti!”
“Tahan!” Enam
prajurit maju ke muka, enam ujung tombak ditujukan ke dada dan punggung manusia
berpakaian putih itu.
“Siapa kau?!”
“Aku mau bertemu
dengan Mahesa Birawa!”
“Keparat, aku tanya
siapa, menjawabnya lain” bentak prajurit itu. Laki-laki itu menggeram dalam
hati.
“Tunjukkan kemah
Mahesa Birawa. Kalau tidak antarkan aku kepadanya!”
“ Manusia bau tengik!
Kau kira kami ini budakmu?“
“Kau mata-mata
Pajajaran ya?!” bentak prajurit yang paling kanan sekali. Ujung tombaknya kini
digeser ke tenggorokan laki-laki asing itu.
“Kalian sontoloyo
semua! Aku bicara baik-baik, dibalas dengan bentakan-bentakan! Sialan!” Enam
ujung tombak dengan serta merta bergerak ke muka. Laki-laki yang hendak menjadi
bahan sasaran ujung senjata itu berkelebat cepat. Satu kali gebrakan saja maka
mentallah keenam prajurit itu! Empat tergelimpang di tanah tak bangun lagi.
Satu berdiri nanar, sedang yang satu sambil memegang perutnya yang kesakitan,
masih sanggup berteriak memanggil kawan-kawannya. Maka dalam sekejapan mata
saja puluhan prajurit dengan senjata terhunus sudah mengurung tempat itu,
mengurung ketat laki-laki berpakaian serba putih. Oborobor menerangi tempat itu
dan jelaslah tampang manusia yang telah menggeprak enam prajurit tadi. Dia
memandang berkeliling dengan air muka melontarkan senyum mengejek.
“’Inikah tampangnya
manusia-manusia yang hendak memberontak pada kerajaan….?” Laki-taki itu tertawa
mengekeh.
“Kalian manusia dogol
semua. Mau saja diperalat oleh segelintir manusia yang hendakkan kekuasaan
secara keji! Kalau kalian kalah, kalian dan dipancung semua! Kalau kalian
menang, kalian dapat apa?!” Seorang laki-laki berbadan tinggi kekar dan
berkulit hitam maju ke hadapan orang asing itu. Dia adalah seorang pelatih
prajurit-prajurit yang hendak memberontak itu. Satu tangan bertolak pinggang,
satu lagi menuding tepat-tepat ke muka si orang asing, dia berkata:
“Kurasa kau masih belum
buta untuk melihat kenyataan, di mana kau berada saat ini!” kata laki-laki
tinggi besar itu. Si orang asing masih tertawa seperti tadi, mengekeh mengejek.
Si tinggi kekar yang merasa dihina di hadapan orang banyak dengan gemas sekali
hantamkan tinju kanannya ke perut si orang asing. Apa yang terjadi kemudian
terlalu cepat untuk dilihat oleh mata orang banyak di tempat itu. Tubuh kepala
pelatih yang tinggi besar itu jungkir balik di udara dan jatuh punggung di
tanah. Untuk beberapa lamanya tak dapat bergerak-gerak! Kesunyian karena
terkejut dan keheranan hanya berlangsung beberapa ketika saja. Begitu terdengar
seseorang berteriak maka menyerbulah puluhan prajurit itu. Suara beradunya
senjata riuh dan kacau balau.
“Tahan!,” Seorang
prajurit berteriak.
“Lihat! Kita
menghantam sesama kita! Kunyuk itu sudah ada di sana!” Dan ketika semua mata
memandang ke jurusan yang ditunjuk maka kelihatanlah orang asing tadi berjalan
seenaknya di sela-sela kemah prajurit! Sewaktu dirinya diserang, secara
bersama-sama tadi, laki-laki itu dengan kecepatan luar biasa jatuhkan diri di
tanah dan lolos di antara selangkangan para penyerangnya. Keadaan malam yang
gelap menolongnya untuk lolos dan melangkah seenaknya di sela-sela kemah.
Metihat bahwa orang yang mereka serang sudah berada di tempat lain, di samping
terkejut tentu saja prajurit-prajurit itu menjadi geram sekali. Apa lagi kepala
pelatih yang tadi dibikin menggeletak di tanah dalam satu kali gebrakan. Dia
berseru memanggil prajuritprajurit lainnya.
“Kurung bangsat itu!
Kalau tak mungkin ditangkap hidup-hidup, cincang sampai lumat!,” perintahnya.
Kepala pelatih ini kemudian cabut kerisnya. Sebelum menyerbu di antara anak
buahnya dia memberi perintah pada seorang prajurit yang kebetulan berada di
dekatnya:
“Beri tahu hal ini
pada Mahesa Birawa….!”
Di dalam kemah besar
itu tengah berlangsung perundingan. Mahesa Birawa tengah berkata:
“Besok Raden Werku
Alit sudah berada di sini dan agaknya….
“ Ucapan Mahesa
Birawa terputus. Kepalanya berpaling ke kanan dan dari mulutnya keluarlah suara
bentakan:
“Pengawal! Apa kamu
orang tidak tahu bahwa tidak siapa pun boleh masuk ke dalam kemah ini? Keluar….
!”
“Mohon maaf Raden…
kata pengawal kemah seraya menjura dua kali.
“Seorang prajurit
memberitahukan bahwa terjadi kerusuhan di sebelah timur…”
“Kerusuhan….?!”
Mahesa Birawa berdiri dari kursinya.
“Ya, seorang asing
diketahui memasuki perkemahan. Ketika dikurung dan ditanyai dia melawan. Dia
merubuhkan enam prajurit! Memukul kepala pelatih Suto Rande dan kini tengah
dikeroyok oleh puluhan prajurit di bawah pimpinan Suto Rande!”
“Hanya seorang asing
nyasar ke sini saja kalian tidak bisa membereskan?! Memalukan sekali!” kertak
Mahesa Birawa. Tapi dalam hatinya dia sebagai seorang yang sudah berpengalaman
dalam dunia persilatan memaklumi, kalau seseorang sanggup merubuhkan enam lawan
sekaligus, bahkan memukul jatuh kepala pelatih prajurit ini suatu tanda bahwa
dia bukanlah orang sembarangan, pasti mempunyai ilmu yang diandalkan. Tapi
siapa adanya orang asing yang berani datang seorang diri ke perkemahan itu,
inilah satu hal yang ingin diketahui Mahesa Birawa. Mahesa Birawa berpaling
pada Adipati-Adipati yang ada dalam kemah itu dan berkata:
“Harap maafkan. Aku
terpaksa meninggalkan persidangan sebentar untuk membereskan keonaran…” Semua Adipati
menganggukkan kepala. Adipati Tapak Ireng berkata:
“Mungkin sekali
perusuh ini seorang mata-mata Pajajaran…”
“Boleh jadi,” sahut
Mahesa Birawa seraya menindak ke pintu kemah. Dan saat itu pengawal kemah
berkata:
“Orang asing itu
berkata bahwa dia ingin bertemu dengan Raden…”
“Dengan aku?” Mahesa
Birawa menuding dadanya sendiri. Pengawal mengangguk. Ini membuat Mahesa Birawa
tambah ingin lekas-lekas mengetahui siapa adanya perusuh itu. Pertempuran
berkecamuk seru ketika Mahesa Birawa sampai ke sana bersama seorang prajurit.
Prajurit ini hendak berseru tapi diberi isyarat oleh Mahesa Birawa agar diam
saja. Akan disaksikannya dengan mata kepala sendiri beberapa jurus kehebatan
pertempuran itu. Pekik dan jeritan terdengar hampir setiap saat. Setiap pekikan
musti disusul dengan menggeletaknya tubuh seorang pengeroyok. Menurut taksiran
Mahesa Birawa saat itu ada sekitar tiga puluh prajurit di bawah pimpinan Suto
Rande yang mengeroyok si orang asing. Diam-diam Mahesa Birawa mengagumi juga
kehebatan orang asing itu. Masih muda belia, bertampang keren dan senjatanya
sebuah tombak yang diputar seperti kitiran, menderu dan setiap saat meminta
korban dari pihak pengeroyok! Mahesa Birawa tahu betul, tombak yang di tangan
pemuda itu adalah tombak rampasan. Dan yang membuat Mahesa Birawa terpaksa
leletkan lidah ialah meski dikeroyok puluhan manusia, si pemuda itu dengan
seenaknya saja melayani sambil tertawa dan bersiul! Beberapa orang lagi rubuh
menggeletak dengan perut atau dada terluka parah disambar ujung tombak.
Kemudian terdengar lagi satu pekikan dahsyat. Sesosok tubuh mental, jatuh tepat
di hadapan Mahesa Birawa. Ketika diteliti oleh Mahesa Birawa ternyata sosok
tubuh itu adalah sosok tubuh Suto Rande, kepala pelatih prajurit! Nyawanya
sudah minggat dan pada keningnya kelihatan guratan angka 212…! Angka ini
sekaligus mengingatkan Mahesa Birawa pada keterangan kurir Raden Werku Alit
tentang kematian Kalasrenggi secara aneh, digantung kaki ke atas kepala ke
bawah dan juga ada angka 212 pada kulit keningnya! Tanpa menunggu lebih banyak
korban lagi yang jatuh maka berserulah Mahesa Birawa!
***
TUJUH BELAS
“Aku Mahesa Birawa
memerintahkan untuk hentikan pertempuran ini!” Suara yang hampir menggeledek
itu dengan serta merta menghentikan pertempuran. Prajurit-prajurit yang
mengeroyok melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Si pemuda asing masih
berdiri di tempat dengan tombak di tangan. Teriakan Mahesa Birawa tadi membuat
dia putar kepala ke arah datangnya suara itu. Dan sepasang matanya segera
membentur sesosok laki-laki berbadan tegap berkumis lebat melintang, berpakaian
bagus. Pada pinggangnya terselip keris. Dalam hatinya pemuda itu menggumam:
“Hem… jadi inilah dia
manusianya yang bernama Mahesa Birawa itu…”. Selagi dia menggumam begitu
laki-laki itu melangkah mendatanginya.
“Orang asing!,” kata
Mahesa Birawa dengan nada keren dan lantang.
“Meski kau punya
sedikit ilmu yang diandalkan, tapi di sini bukanlah tempat untuk
memamerkannya!” Si pemuda keluarkan suara bersiul.
“Betul aku berhadapan
dengan Mahesa Birawa saat ini…?” tanyanya.
“Kau siapa?!,”
membentak Mahesa Birawa.
“Namaku tertulis di
kening anak buahmu itu!” Si pemuda pendekar 212 menunjuk ke mayat Suto Rande.
“Hem… bagus kalau
begitu!” Mahesa Birawa puntir kumisnya.
“Kau yang membunuh
Kalasrenggi, bukan?”
“Tidak! Aku hanya
menggantungnya dan Tuhan kemudian mengambil rohnya….”. Habis berkata begitu
pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Kau tahu Mahesa,
manusia macam Kalasrenggi itu tak layak hidup lama-lama di dunia! Masih
kebagusan ada kali untuk tempat pembuang mayatnya! Dan kau tahu… di atas bumi
ini masih banyak manusia-manusia macam Kalasrenggi malahan lebih terkutuk dari
Kalasrenggi yang musti dilenyapkan!” Di sini bukan tempat pidato, budak hina!,”
bentak Mahesa Birawa.
“Oh, begitu…? Kalau
demikian mari kita bicara empat mata Mahesa Birawa. Aku memang sudah lama
mencari kau!” Mahesa Birawa menyeringai. Kemudian kelihatan bagaimana mukanya
menjadi kelam membesi.
“Kalau aku bicara
dengan kau maka biar aku terangkan padamu bahwa kedatanganmu ke sini hanyalah
untuk mengantar nyawa!” Habis berkata demikian Mahesa Birawa hantamkan tangan
kanannya ke muka. Setiup angin yang bukan olah-olah panasnya menggebubu ke arah
pendekar 212! Pendekar 212 lompat tiga tombak ke atas. Angin pukulan lewat di
bawahnya dan menghantam sebuah pohon kayu.
“Buum!”
“Kraak!” Pohon itu
bukan saja tumbang dilanda angin pukulan tapi juga berwarna hitam karena
hangus! Kedua orang itu sama-sama terkejut. Pendekar 212 terkejut melihat
kehebatan pukulan dan tenaga dalam lawan sedang Mahesa Birawa heran tidak
menyangka kalau pukulannya itu dapat dielakkan dengan satu lompatan enteng ke
udara!
Dengan penuh waspada
Wiro Sableng jejakkan kedua kakinya kembali ke tanah.
“Mahesa Birawa,”
katanya,
“Soal pertempuran
soal mudah. Mudah dimulai, mudah diakhiri. Tapi aku bilang, aku mau bicara
dengan kau! Empat ma….”
“Budak hina! Siapa
sudi bicara dengan kau!” potong Mahesa Birawa membentak. Sekali lagi tangan
kanannya dipukulkan ke muka. Kalau tadi dia hanya mempergunakan sepertiga dari
tenaga dalamnya maka kini dialirkan ke dalam pukulannya itu setengah dari
tenaga dalamnya! Namun untuk kedua kalinya pula Mahesa Birawa dibuat gemas
karena Pendekar 212 berhasil pula mengelakkan serangannya yang dahsyat itu.
“Mahesa Birawa,
apakah kau yang lebih tua tidak memberikan kesempatan padaku untuk bicara empat
mata?!”tanya Wiro Sableng pula. Kesabarannya mulai terkikis dari hatinya. Kalau
saja dia tiada ingat pesan gurunya Eyang Sinto Gendeng pastilah saat itu juga
dibalasnya serangan-serangan Mahesa Birawa tadi! Untuk tidak terlalu kehilangan
muka karena dua pukulannya berhasil dielakkan lawan maka berkatalah Mahesa
Birawa:
“Percuma saja kau
bicara, toh nantinya nyawamu akan aku bikin merat juga dari kau punya badan!”
Pendekar 212 tertawa.
“Dengar Mahesa
Birawa…” kata pendekar ini. Rahang-rahangnya bertonjolan. Pelipisnya
bergerak-gerak tanda dia menekan amarahnya dan berusaha mempertahankan
kesabarannya.
“Aku membawa pesan
dari Eyang Sinto Gendeng…” Maka terkejutlah Mahesa Birawa mendengar nama itu.
“Kau ini siapa kalau
begitu?!” tanyanya.
“Siapa aku masih
belum penting. Aku tunggu kau malam ini di bukit Jatimaleh. Seorang diri,
Mahesa Birawa. Datanglah seorang diri….”
“Kau bisa bicara di
sini!” Pendekar 212 menggeleng.
“Di bukit Jatimaleh…”
desisnya.
“Aku bilang di
sini!,” bentak Mahesa Birawa.
“Takutkah kau datang
ke bukit itu malam-malam gelap begini? Atau mungkin takut pada dinginnya udara?
Atau mungkin takut pada roh-roh manusia yang selama ini membayangimu….?!”
Mahesa Birawa kertakkan geraham. Dia memberi isyarat. Bersama puluhan prajurit
yang ada di situ maka menyerbulah dia! Pendekar 212 melompat sampai setinggi
tujuh tombak. Dia berpegangan pada ujung sebuah cabang pohon, membuat satu kali
putaran pada saat mana Mahesa Birawa lemparkan sejenis senjata rahasia. Mahesa
Birawa berseru tertahan ketika melihat senjata rahasianya membalik kembali
menyerang dirinya sendiri. Dikebutkannya tangan kirinya. Senjata rahasia itu
bermentalan, menghantam prajurit-prajurit di sekitarnya. Empat orang menggerang
dan rebah ke tanah! Bayangan Wiro Sableng lenyap namun masih terdengarsuara
seruannya mengiangi anak telinga.
“Bukit Jatimaleh,
Mahesa! Malam ini. Ingat, seorang diri…. !”
***
DELAPAN BELAS
Bukit Jatimaleh
tertetak tidak berapa jauh dari perkemahan pemberontak. Ketika Mahesa Birawa
hendak meninggalkan perkemahan, beberapa prajurit menyatakan hendak ikut serta
tapi Mahesa berkata:
“Biar aku sendiri
yang membereskan urusan ini! Kalian semua di sini bersiap siagalah. Perkuat
penjagaan dan lipat gandakan prajurit-prajurit peronda!” Cuaca malam di atas
bukit Jatimaleh gelap gulita. Di langit tiada rembulan tiada bintang. Udara
yang dingin mencucuki daging menyembilui tulang-tulang sampai ke sungsum. Dalam
kegelapan inilah kelihatan dua sosok tubuh berdiri berhadap-hadapan. Yang satu
membentak lantang:
“Cepat terangkan
siapa kau adanya budak hina!”
“Ah… jangan bicara
memaki terus-terusan Mahesa Birawa. Belum tentu aku lebih hina dari kau!,”
jawab Pendekar 212. Marahlah Mahesa Birawa. Dia menggeser langkahnya ke muka.
Tapi langkahnya segera pula terhenti ketika didengarnya pemuda di hadapannya
berkata:
“Pesan Eyang Sinto
Gendeng ialah agar kau segera kembali ke puncak Gunung Gede dalam waktu
secepat-cepatnya!”
“Kembali ke puncak
Gunung Gede…. ?!”
“Yeah… Untuk menerima
hukuman atas perbuatan-perbuatan jahatmu sejak kau turun gunung tujuh belas
tahun yang silam!”
“Jangan bicara ngaco
belo! Ada hubungan apa kau dengan Eyang Sinto Gendeng?!” Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 tertawa datar.
“Aku hanya pesuruh buruk
saja, Mahesa….” jawabnya.
“Dusta!,” bentak
Mahesa Birawa menggeledek.
“Kalau kau tak mau
bicara yang sebetulnya jangan menyesal bila kepalamu kupuntir sampai putus!”
Wiro Sableng bersiul.
“Aku tak tahu segala
urusan puntir kepala. Aku hanya menyampaikan perintah Eyang Sinto Gendeng agar
kau menghadapnya di puncak Gunung Gede! Kau dengar Mahesa…. He… he… he….”
Jari-jari tangan Mahesa Birawa mengepal membentuk tinju.
“Aku ingin tahu saat
ini juga. Apakah kau bersedia memenuhi perintah itu atau tidak…?”
“Aku tanya dulu! Apa
hubunganmu dengan Eyang Sinto Gendeng? Jangan bikin kesabaranku habis!”
“Kurasa akulah yang
mustinya kehabisan rasa sabar melihat tampangmu saat ini!” tukas Wiro Sableng.
“Katakan saja terus
terang bahwa kau tak mau menghadap Eyang Sinto Gendeng! Itu lebih baik dan
lebih jelas….!” Mahesa Birawa busungkan dada. Katanya:
“Kalau orang tua
geblek itu butuh ketemu dengan aku, suruh dia datang ke sini!” Suara menggeram
jelas terdengar di tenggorokan Pendekar 212. Mukanya kelam membesi. Tanah yang
dipijaknya melesak sampai tiga senti!
“Bicaramu terlalu
besar Mahesa Birawa! Terlalu pongah! Dosamu sendiri sudah lebih dari takaran!
Hari ini kau hina gurumu sendiri! Guru yang bertahun-tahun telah memeliharamu,
mengajarmu segala ilmu kepandaian! Guru yang telah kau nodai nama baiknya! Kau
mengandalkan apakah, Mahesa Birawa….. ?!“
“Bocah gila! Terpaksa
mulutmu kurobek detik ini juga!” bentak Mahesa Birawa. Secepat kilat, belum
lagi habis bicaranya maka lima jari-jari tangan kanannya bergerak mencengkeram
ke muka. Pendekar 212 tertawa. Tertawa dan bersiul. Bentakan nyaring
menggeledek dari mulutnya dan dia lompat ke samping sambil hantamkan tangan
kirinya. Mahesa Birawa terkejut ketika merasakan satu angin yang deras
mendorong tubuhnya. Cepat-cepat dia pergunakan tangan kanan untuk memapasi
dorongan angin itu tapi tak urung tubuhnya menjadi gontai juga! Maka kini
keringat dingin memercik di kening laki-laki itu!
“Urusan kekerasan
urusan mudah, Mahesa!,” kata Wiro Sableng.
“Tapi bicaraku masih
belum habis. Tujuh belas tahun yang lewat kau pernah malang melintang di
Jatiwalu. Ingat…. ?”
“Pemuda sedeng!
Darimana….”
“Ah… kau masih ingat!
Bagus… bagus sekali! Apa kau juga ingat bahwa pada masa tujuh belas tahun itu
kau telah membunuh Ranaweleng, Kepala Kampung Jatiwalu?! Apakah kau juga masih
ingat bahwa pada masa itu kau juga merusak kehormatan seorang perempuan bernama
Suci, isteri Ranaweleng, kemudian karena malu perempuan itu bunuh diri?! Apa
kau juga masih ingat dan sanggup menghitung berapa banyak jiwa penduduk yang
kau renggut, kau bunuh?!” Mulut Mahesa Birawa terkatup rapat-rapat. Dan
pendekar 212 buka mulut lagi:
“Kalau aku tidak
ingat pesan Eyang Sinto Gendeng, pada detik aku melihat tampangmu aku sudah
bertekad untuk mengermus kepalamu! Kini setelah tahu bahwa kau tidak mau
diperintahkan untuk menghadap ke puncak Gunung Gede maka tak ada lagi halangan
bagiku untuk membalaskan dendam kesumat seribu karat, untuk membalaskan sakit
hati yang berurat berakar sejak tujuh belas tahun yang lewat! Ketahuilah Mahesa
Birawa, aku adalah anak Ranaweleng. Dan aku adalah juga murid Eyang Sinto
Gendeng! Adik seperguruanmu sendiri, tapi yang akan memisahkan roh busukmu
dengan tubuh bejatmu!” Habis berkata begini maka tertawalah pendekar 212. Suara
tertawanya keras dan panjang, menegakkan bulu roma. Bergetar hati Mahesa Birawa
mendengar suara tertawa yang menegakkan bulu kuduknya itu. Terbayang olehnya
masa tujuh belas tahun yang silam. Begitu cepat waktu berlalu dan tahu-tahu
kini dia berhadapan dengan kenyataan yang pahit! Berhadapan dengan anak
laki-laki dari suami isteri yang pernah menjadi korbannya. Seperti tak percaya
dia akan kenyataan ini!
“Orang muda…!,” kata
Mahesa Birawa pula. Suaranya diperbawa dengan aliran tenaga dalam agar tidak
kentara getaran hatinya.
“Kuharap kau
cepat-cepat saja bangun dari mimpimu dan tahu berhadapan dengan siapa…!”
Pendekar 212 tertawa lagi seperti tadi. Lebih seram malah! Dan didengarnya
suara Mahesa Birawa, musuh besarnya itu berkata pongah:
“Jangankan kau… Eyang
Sinto Gendeng sekalipun tak akan sanggup turun tangan terhadapku! Kalau kau
teruskan niat edanmu, ketahuilah bahwa kedatanganmu sejauh ini dari puncak
Gunung Gede hanyalah untuk mencari mampus sendiri!”
“Kita akan lihat
Mahesa Birawa! Kita akan saksikan! Darah siapa di antara kita yang akan dihisap
oleh tanah! Kau telah menentukan kematian ibu bapakku di siang hari! Disaksikan
oleh langit siang dan matahari! Karena itu besok, bila matahari tepat sampai di
puncak ubun-ubun, aku tunggu kau di atas bukit ini! Biar langit dan matahari
yang dulu menyaksikan kematian ibu bapakku, besok menyaksikan pula kematianmu,
menyaksikan pembalasan dendam kesumat seribu karat!” Mahesa Birawa keluarkan
suara mendengus.
“Aku bukan manusia
yang bisa menunggu, apa lagi terhadap keroco macam kau! Tapi dengar orang muda…
daripada kau mati tiada guna, aku ada usul baik bagimu. Ikut bersamaku
menghancurkan Pajajaran, niscaya kau akan kuangkat kelak menjadi seorang
pejabat berpangkat tinggi…. !” Wiro Sableng bersiul.
“Aku tidak butuh usul,
Mahesa Birawa, juga tidak butuh apa-apa. Saat ini aku hanya butuh roh busukmu!
Besok siang di tempat ini. Mahesa. Darahmu atau darahku, nyawamu atau nyawaku!”
Maka kini Mahesa Birawa tidak dapat lagi menahan hatinya.
“Tak perlu tunggu
sampai besok! Sekarang pun aku bersedia melayani! Terima pukulan seribu badai
ini!” Mahesa Birawa menerjang ke muka. Tangan kanannya memukul dan gelombang
angin yang sangat hebat menderu menyambar ke arah pendekar 212. Yang diserang
tanpa tunggu lebih lama berkelebat dan melompat setinggi tujuh tombak. Kedua
kakinya tergetar dan linu ketika angin pukulan lawan dalam jarak setinggi itu
masih sanggup menyapu kedua kakinya! Dengan kerahkan setengah dari tenaga
dalamnya Wiro Sabteng hantamkan tangan kanan ke bawah melancarkan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera! Mahesa Birawa berseru tertahan melihat
datangnya angin laksana badai ke arahnya. Cepat-cepat dia melompat ke samping.
Tubuhnya hampir terpelanting diserempet angin pukulan lawan. Dengan kerahkan
tenaga dalamnya dia masih sanggup berdiri di tempat setelah mengelak tadi.
Namun demikian kedua kakinya melesak sampai lima senti ke dalam tanah! Dalam
keterkejutan melihat kehebatan lawan Mahesa Birawa mendengar suara tertawa
pendekar 212.
“Kutunggu besok siang
Mahesa Birawa. Di sini,di puncak bukit ini! Satu hal perlu kukatakan. Besok aku
menghadapimu bukan sebagai manusia bernama Mahesa Birawa, tapi sebagai
Suranyali!” Wiro Sableng berkelebat.
“Budak hina! Jangan
lari!” teriak Mahesa Birawa alias Suranyali. Namun pendekar 212 sudah lenyap
dari pemandangannya ditelan kegelapan malam.
***
SEMBILAN BELAS
Malam itu Mahesa
Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali. Sebentar-sebentar di
atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke kanan.
Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam. Terbayang
olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang bunuh diri
itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari
Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat
mengukur kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk
menghadapi pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang
benar-benar mengejutkan dan menyirapkan semangatnya. Hati kecilnya mengutuki
kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun yang silam itu dia tahu kalau
Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa dia tidak sekaligus
membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak mempunyai
pikiran panjang seperti waktu sekarang ini. Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya
kembali. Dia memandang ke dinding kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti
terbayang oleh matanya rentetan kalimat yang pernah dibacanya pada dinding
tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia baru saja
berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di sana… di dalam
ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan kalimat
itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:
“Apa yang kau lakukan
hari ini akan kau terima balasannya pada tujuh belas tahun mendatang!” Mahesa
Birawa akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar mandir didalam
kemah besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi dan dua
orang mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui kematian
akibat turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan guratan
angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto
Rande dalam cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti…
pasti sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah
adik seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan
dengan Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan
Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan! Mahesa
Birawa melangkah lagi mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya. Dia harus
bertindak cepat sebelum Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya.
Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan
mereka untuk menyapu mereka! Malam itu juga Mahesa Birawa berunding dengan
kelima Adipati. Dan malam itu pula diputuskan untuk menggerakkan seluruh
pasukan ke Kotaraja. Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama
untuk menemui Raden Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu
hal yang mendesak maka pasukan diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk
menggempur Pajajaran selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing!
Kurir yang kedua berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti
Sitaraga yang sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum
pemberontak! Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran
di perbatasan.
Meski tetap berhati
bimbang akan kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar adiknya,
namun Prabu Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran secara
diamdiam. Dan ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan
tentang terlihatnya sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini
benar-benar menjadi kaget. Benar juga peringatan itu, katanya dalam hati.
Kepada Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan perintah kilat:
“Kalau pasukan yang
datang itu adalah benar pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar tembok
Kerajaan!” Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat
itu pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok
besar yang mengelilingi Kotaraja. Yang paling seru adalah pertempuran pada dua
buah pintu gerbang. Pihak pemberontak menyerang habis-habisan untuk dapat
membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan mati-matian!
Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat
senjata, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang
mengerikan. Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan
sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih. Prabu Kamandaka
dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan
Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya tergenggam
sebilah golok panjang yang berlumuran darah! Prabu Kamandaka seperti terpukau
dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia bergerak ke medan pertempuran
sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan dengan Werku Alit, saudara
sepenyusuan sendiri!
“Matakukah yang
terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?” ujar Sang Prabu.
Raden Werku Alit tertawa membesi.
“Matamu masih belum
terbalik, Kamandaka! Cuma otakmu yang miring sehingga mengambil hak orang
lain….!”
“Hak apakah yang aku
telah ambil dan siapakah orang lain itu?!”
“Takhta Kerajaan
adalah hak syah diriku, Kamandaka!” jawab Werku Alit garang. Prabu Kamandaka
tertawa dingin.
“Kau mengigau di
slang hari Alit! Tak kusangka, kau sendiri yang menjadi biang racun pentolan
pemberontak yang memberikan perintah untuk mengeroyok Raja Pajajaran itu!”
Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi
semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya
tergenggam golok panjang yang berlumuran darah! Agaknya serangan lawan mulai
tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah
jam lebih. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik
kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah,
semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan. Satu demi satu
prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan. Keadaan Sang
Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di
bawah pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu
gerbang!
***
DUA PULUH
Pada saat pertempuran
berkecamuk dengan serunya, pada saat pintu gerbang Kotaraja di sebelah barat
hampir bobol dan pada saat keselamatan Prabu Kamandaka sendiri terancam maka
pada saat itulah terdengar suara yang keras laksana guntur mengatasi segala
kecamukan perang yang mendatangkan maut itu!
“Manusia-manusia
bodoh! Hentikan pertempuran ini!” Hampir semua mereka yang bertempur di medan
sebelah timur itu jadi terkejut dan hampir semua mata pula memandang ke atas
tembok Kotaraja di mana kelihatan berdiri seorang pemuda berpakaian putih-putih
berambut gondrong! Mungkin sekali Raden Werku Alit adalah orang yang paling
terkejut melihat pemuda di atas tembok itu. Manusia ini tampangnya sama betul
dengan pemuda yang tempo hari ditotoknya sewaktu hujan-hujan di teratak tua!
“Orang-orang mati
inginkan hidup, kalian yang hidup mau bertempur sampai mati! Goblok betul!”
terdengar lagi pemuda yang di atas tembok berkata dengan suaranya yang
mengguntur. Werku Alit kertakkan rahang. Hatinya gusar terhadap si pemuda.
Diam-diam dia tahu bahwa suara yang mengguntur itu pastilah menandakan bahwa si
pemuda yang memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Namun bila dia melirik ke
samping dan detik itu melihat Prabu Kamandaka berada dalam keadaan lengah maka
kesempatan ini dipergunakan Werku Alit dengan sebaik-baiknya. Senjatanya
berkelebat cepat dan ganas. Satu ujung tajam dari toja menyambar ke leher
sedang ujung yang lain menyapu ke kaki Prabu Kamandaka! Melihat datangnya
serangan itu Prabu Kamandaka sadar akan keteledorannya berbuat lengah. Sangat
terlambat baginya untuk dapat mengelakkan senjata lawan yang menyerang dua
tempat itu sekaligus. Salah satu ujung tajam dari senjata lawan pastilah akan
mengenai badannya. Prabu Kamandaka lemparkan diri ke belakang meski dia tahu
bahwa kakinya akan disapu ujung toja lawan. Tapi pada saat itu pula dari atas
tembok melesat satu benda putih sekali laksana bercahaya. Benda ini berbentuk
bintang dan mengeluarkan suara mendesing, menghantam pertengahan toja Werku
Alit dengan tepatnya. Toja itu patah dua. Salah satu patahannya menggores dada
Werku Alit sendiri! Laki-laki ini menjerit kesakitan dan lompat mundur namun
diburu dengan sebat oleh Prabu Kamandaka. Dalam keadaan terluka, bersama
orang-orangnya Werku Alit bertahan dengan hebat. Dua Adipati lainnya yang
melihat terdesaknya Werku Alit segera berikan bantuan sehingga Prabu Kamandaka
dan orang-orangnya kembali terdesak hebat! Werku Alit mengamuk dahsyat.
Mengamuk dengan patahan tojanya. Namun keadaan dirinya mulai payah akibat luka
yang dideritanya. Gerakan-gerakannya mulai menjadi lamban sehingga dia terpaksa
mengambil posisi bertahan dan membiarkan pembantupembantunya menyerang pihak
lawan. Adipati Tapak Ireng mendekati Werku Alit dan sodorkan sebuah pil.
“Telanlah cepat Raden
Alit dan alirkan tenaga dalammu ke bagian yang terluka….” Werku Alit
cepat-cepat telan pil yang berwama hitam itu lalu kerahkan tenaga dalamnya.
Obat yang diberikan oleh Adipati Tapak Ireng memang manjur sekali. Sesaat
kemudian darah pada luka Werku Alit berhenti dan tiada terasa sakit lagi. Maka
dengan cabut kerisnya Werku Alit kembali maju menghadapi Prabu Kamandaka.
Ketika Adipati Lanabelong dengan ruyung besi putihnya turut pula membantu Werku
Alit maka lebih buruk dari tadi keadaan Prabu Kamandaka kembali terdesak hebat.
“Kaum pemberontak!
Hentikan pertempuran ini!” teriak orang yang di atas tembok. Tapi tak ada yang
memperdulikan malah Adipati Jakaluwing dari Karangtretes menantang:
“Orang gila berambut
gondrong kalau mau rasakan toja besiku, turunlah!” Orang di atas tembok
menggerutu penasaran. Dari balik pinggangnya dikeluarkannya sebuah kapak
bermata dua! Mata kapak itu berkilat-kilat ditimpa sinar matahari pagi.
Kemudian dengan satu gerakan yang sangat enteng dia melompat turun. Dan begitu
sampai di tanah ditempelkannya ujung gagang kapak ke bibirnya. Maka sesaat
kemudian menggemalah suara seperti seruling. Mula-mula pelahan, kemudian makin
keras dan melengking-lengking! Telinga pihak pemberontak yang mendengar suara
lengkingan seruling itu seperti ditusuk-tusuk sakit sekali. Prajurit-prajurit
rendahan menjadi terpukau dan dengan mudah menjadi korban senjata
prajurit-prajurit Pajajaran! Werku Alit dan lima Adipati sekutunya terkejut
ketika merasa bagaimana sakitnya telinga mereka sedang jalan darah mereka tidak
lagi teratur tapi sesak tersendat-sendat. Dan ketika mereka memandang
berkeliling mereka melihat bagaimana pasukan mereka di bagian medan mayat
prajurit dengan dada mandi darah! Werku Alit dan Adipati-Adipati yang masih
hidup terkejutnya bukan main. Serangan mereka di samping dijuruskan kepada
Prabu Kamandaka kini juga dititikberatkan pada Wiro Sableng! Namun bila sekali
lagi Kapak Naga Geni 212 berkelebat maka kini giliran Adipati Jakaluwing pula
yang meregang nyawa dengan kepala hampir terbelah dual Werku Alit dan
Adipati-Adipati yang masih hidup menjadi kecut. Mereka saling berlirikan tajam
dan beri isyarat namun pada saat itu pula pendekar 212 yang sudah tahu maksud
mereka membuat gerakan cepat. Rujung besi Ranabelong mental puntung dua ke
udara disusul dengan jerit kematiannya! Satu-satunya Adipati yang masih hidup
yaitu Warok Gluduk boleh dikatakan sudah tak ada daya lagi sesudah lengan
kanannya tadi dibabat puntung oleh Prabu Kamandaka. Dia memutuskan untuk kabur
saja tapi tombak seorang kepala pasukan Pajajaran lebih dahulu menancap di
punggungnya terus menembus sampai ke dada! Nyali Werku Alit semakin luntur
menciut. Di medan pertempuran sebelah timur itu hanya dia sendiri kini yang
menjadi pucuk pimpinan. Kalau tadi dia dan anak-anak buahnya merupakan pihak penyerang
yang mendesak maka kini keadaan terbalik! Di mana-mana puluhan
prajurit-prajuritnya bergeletakan mati. Yang masih hidup bertempur dengan
setengah hati, mundur terus-terusan dan kacau balau! Suara seruling Kapak Naga
Geni 212 yang terus menerus melengking seperti melumpuhkan sekujur tubuh Raden
Werku Alit. Dicobanya mengerahkan tenaga dalamnya namun tenaga dalamnya terasa
laksana punah! Telinganya sakit dan kemudian dirasakannya ada yang meleleh pada
kedua liang telinganya itu! Darah!
***
DUA PULUH SATU
Mahesa Birawa yang
ada di medan pertempuran sebelah barat, yang saat itu sudah hampir berhasil
mendesak pasukan Pajajaran dan membobolkan pintu gerbang pertahanan menjadi
terkejut ketika selintas kepalanya dipalingkan ke arah timur! Pasukan pihaknya
di jurusan ini dilihatnya bertempur dengan kacau, malah sebagian besar mundur
terdesak hebat! Beberapa kelompok pasukan bahkan dilihatnya melarikan diri
kucar kacir! Dan di antara semua apa yang disaksikannya itu sayup-sayup
telinganya mendengar lengkingan suara seruling! Jaraknya dengan medan
pertempuran sebelah timur terpisah puluhan tombak tapi suara seruling itu
seperti menerpa-nerpa kulit tubuhnya, menyendatkan jalan darahnya dan
menyakitkan anak telinganya. Dan saat demi saat jumlah prajurit yang bertempur
di medan sana itu semakin berkurang juga, banyak yang lari dan banyak yang
tergelimpang mati! Mahesa Birawa serahkan pimpinan kepada seorang kepala
pasukan yang dipercayainya. Kemudian dengan gerakan sebat dia menuju ke medan
pertempuran sebelah timur. Begitu sampai di medan pertempuran ini dia disambut
oleh satu pemandangan yang cukup membuat bulu kuduknya merinding. Saat itu,
Raden Werku Alit sudah terdesak hebat dan tak sanggup mengelakkan sambaran
pedang Prabu Kamandaka. jarak yang jauh Mahesa Birawa masih berusaha untuk
membokong Prabu Kamandaka dengan pukulan tangan kosong. Namun angin pukulannya
yang dahsyat itu diterpa hebat oleh satu gelombang angin ganas dari samping!
Ketika dia berpaling maka sepasang matanya membentur pemuda yang tak asing lagi
baginya. Maka membentaklah Mahesa Birawa. Namun bentakannya belum lagi keluar,
tahu-tahu satu benda menggelinding ke arah tempatnya berdiri, dan ketika
diperhatikan benda itu adalah kepala Raden Werku Alit yang sesaat sebetumnya
lehernya kena ditebas pedang Prabu Kamandaka! Kemarahan Mahesa Birawa tiada
terperikan. Dengan keris di tangan kanan dan gada berduri yang mempunyai tiga
mata rantai berduri pula dia menyerbu ke hadapan Prabu Kamandaka! Namun setiup
angin dahsyat memotong serangannya itu dari samping. Dan ketika dia berpaling
ternyata lagi-lagi pemuda itu yang menghalanginya!
“Aku lawanmu, Mahesa
Birawa!,” teriak pendekar 212 dengan bola mata bersinar-sinar.
“Kutunggu kau di
bukit Jatimaleh!”
“Budak hina! Kuburmu
adalah di antara tumpukan mayat di tempat ini juga!,” bentak Mahesa Birawa.
Sementara itu Prabu Kamandaka yang tahu bahwa yang tadi hendak menyerangnya
adalah tokoh pemberontak kaki tangan Werku Alit yang berbahaya segera berteriak
berikan perintah:
“Kurung
bangsat-bangsat pemberontak ini!” Dua lusin prajurit, tiga kepala pasukan dan
Prabu Kamandaka sendiri segera mengurung Mahesa Birawa. Namun pada saat itu
pula Wiro Sableng melompat ke muka dan berseru:
“Prabu Kamandaka! Kau
memang punya hak untuk menangkap dan membunuh manusia karena dia adalah
pentolan pemberontak musuh Pajajaran! Tapi aku merasa lebih punya hak untuk
membereskannya karena dialah pembunuh ayahku dan penyebab kematian ibuku!
Serahkan dia padaku Prabu Kamandaka!” Raja Pajajaran meski amarahnya hampir tak
dapat dikendalikan lagi, tapi mendengar ucapan Wiro Sableng itu menahan juga
serangannya dan bertanya:
“Orang muda gagah,
kau siapakah?!” Wiro Sableng senyum sedikit. Diacungkannya kapak yang di tangan
kanannya. Dan pada kedua mata kapak itu jelas kelihatan tiga rentetan angka.
212! Terkejutlah Sang Prabu! Tak disangka pemuda itulah kiranya manusia aneh
yang telah memberikan peringatan kepadanya sebelumnya tentang akan pecahnya
pemberontakan. Tahu kalau si pemuda gagah betul-betul berada di pihaknya
sendiri maka Prabu Pajajaran itu tidak keberatan mengabulkan permintaan Wiro
Sableng. Dia beri isyarat agar prajurit-prajuritnya mundur kembali. Sementara
itu boleh dikatakan pertempuran sudah hampir berakhir. Balatentara pemberontak
yang kini tidak berpimpinan lagi sudah mundur jauh dari tembok Kerajaan dan
terus dikejar oleh pasukan Pajajaran sehingga lari kucar kacir. Dan di antara
gelimpangan mayat manusia di atas tanah yang banjir darah, di udara yang masih
hangat oleh baunya maut maka berhadapanlah dua musuh besar, Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212 dengan Suranyali alias Mahesa Birawa! Pendekar 212 baru saja
pasang kuda-kuda dan melintangkan kapak Naga Geni di muka dada ketika dengan
membentak dahsyat Suranyali menerjang ke muka. Keris menusuk ke kepala dan gada
rantai berduri menyapu ke perut!
“Ciaat!” Wiro Sableng
tak kalah sebat. Tubuhnya berkelebat, Kapak Naga Geni berputar dahsyat
menimbulkan gelombang angin dan mengeluarkan suara mengaung laksana suara
ratusan tawon! Gelombang angin itu sekaligus membentur senjata-senjata
Suranyali membuat kedua tangan-tangannya laksana kena dipukul mental! Suranyali
alias Mahesa Birawa kini tidak bisa bertempur tanggung-tanggung lagi. Seluruh
tenaga dalamnya dikerahkan dan untuk kedua kalinya dia menyerbu ke muka!
Serangan kali ini lebih dahsyat dari yang pertama namun pendekar 212 menunggu
dengan tenang! Setengah tombak tubuh lawan mengapung ke arahnya Wiro Sableng
sapukan Kapak Maut Naga Geni ke muka dalam jurus Orang Gila Mengebut Lalat.
Suranyali merasakan badannya seperti membentur dinding yang tak kelihatan!
Dengan andalkan ilmu mengentengi tubuh yang sudah sempurna sekali, laki-laki
ini lompat ke samping. Kapak Naga Geni melesat di bawahnya dan pada detik itu
pula Suranyali kembali menukik dan babatkan gada berdurinya! Yang diserang sama
sekali tidak mau mengelak, tapi putar Kapak Naga Geninya di atas kepala. Maka
dua senjata bentrokanlah dengan hebat, mengeluarkan suara nyaring! Kapak Naga
Geni memancarkan bunga api, dua dari rantai besi berduri yang bergandul pada
gada berduri di tangan kiri Suranyali putus! Membuat pemiliknya jadi terkejut
sekali! Dan dalam saat itu pula laksana topan Kapak Naga Geni membalik membabat
ke arah selangkangannya! Suranyali berseru keras dan jungkir balik di udara!
Keringat dingin mengucur di kuduknya! Prabu Kamandaka leletkan lidah melihat
pertempuran yang hebat itu. Dalam waktu yang singkat kedua orang itu telah
bertempur dua puluh jurus! Dan kentara sekali bagaimana kini Suranyali alias
Mahesa Birawa mulai mendapat tekanantekanan hebat! Dan pada saat laki-laki ini
terpaksa buang penggada berdurinya karena senjata itu dibabat puntung oleh
kapak lawan! Dengan penasaran Suranyali cabut senjatanya yang lain yaitu sebuah
tongkat besi yang ujungnya bercagak dua. Tongkat besi ini memancarkan sinar kehijauan
tanda bukan senjata sembarangan dan menggndung racun yang hebat! Dengan keris
di tangan kanan dan tongkat besi bercagak di tangan kiri berkelebatlah
Suranyali. Kedua senjatanya memancarkan sinar dahsyat yang membungkus lawannya.
Namun yang dihadapi Suranyali saat itu bukan manusia berilmu rendah dan bukan
pula yang bersenjatakan senjata biasa! Kapak Naga Geni 212 menderu-deru
mengaung mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Tubuh kedua orang itu hanya
merupakan bayangbayang saja dan tiba-tiba terdengar teriakan Suranyali. Keris
di tangan kanannya terlepas mental patah dua. Kalau saja dia tidak cepat-cepat
tarik tangan kanannya pastilah tangan itu kena pula dibabat kapak lawan!
Suranyali melompat ke luar dari kalangan pertempuran! Mukanya memucat laksana salju!
Cepat-cepat dia atur jalan nafasnya. Ketika dia melangkah ke muka maka
kelihatanlah tangan kanannya sampai ke pangkal siku berwarna sangat hijau dan
bergetar.
“Pemuda hina dina!
Kau lihat lengan kananku ini?!” tanya Suranyali sambil acungkan tangan kanannya.
“Tujuh belas tahun
yang lalu bapakmu meregang nyawa oleh pukulan Kelabang Hijau-ku! Kini anaknya
akan menerima bagian yang sama pula!” Wiro Sableng tahu. kalau tujuh belas
tahun yang lalu musuh besarnya itu telah memiliki ilmu pukulan Kelabang Hijau
itu maka kini kehebatannya tentu tak dapat dibayangkan. Namun hal ini sama
sekali tidak menggetarkan hatinya! Kapak Naga Geni 212 dipindahkan ke tangan
kiri dan tiga perempat bagian tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan. Dan
kelihatanlah tangan kanan itu menjadi sangat putih sedang kuku-kuku jarinya
bersinar memerah menyilaukan! Terkejutlah Suranyali melihat hal ini. Hatinya
tergetar.
“Pukulan sinar
matahari…,” desisnya. Pendekar 212 tertawa menggumam.
“Silahkan mulai
dahulu, Suranyali…,” katanya menantang! Diam-diam Suranyali alirkan teluruh
tenaga dalamnya ke lengan kanan. Mulutnya komat-kamit. Kedua kakinya amblas
lima senti ke dalam tanah yang basah oleh genangan darah. Dan sambil lompat
sembilan tombak ke atas kemudian laki-laki ini hantamkan tangan kanannya ke
muka! Pendekar 212 tetap tak bergerak di tempatnya. Sinar hijau dari pukulan
lawan melesat ke arahnya dan disambutinya dengan pukulan tangan kanan! Dua
pukulan dahsyat beradu di udara mengeluarkan suara berdentum! Sinar hijau dan
putih saling nyambar dan memecah ke samping! Pekik jerit dari orang-orang yang
berdiri di tepi kalangan pertempuran terdengar di mana-mana. Tubuh mereka
tergelimpang mati. Ada yang menjadi hijau akibat racun pukulan Kelabang Hijau
Suranyali dan banyak yang menjadi hangus hitam tersambar pukulan sinar matahari
Wiro Sableng! Prabu Kamandaka sendiri jika tidak cepat-cepat melompat pastilah
akan menjadi korban pula! Ketika dua sinar itu beradu keras Suranyali merasakan
badannya menjadi panas. Celaka! Keluhnya. Pukulannya kelabang Hijaunya bukan
saja musnah oleh pukulan lawan tapi juga kena dihantam dikembalikan ke arah
kedua kakinya. Cepat-cepat laki-laki ini ambil sebuah pil dari sabuk di
pinggangnya dan menelannya. Kemudian sesaat sesudah itu laksana seekor elang
dia menukik ke bawah, tusukan besi bercagaknya ke leher Wiro Sableng. Wiro
memapasi dengan kapaknya. Suranyali coba menjepit gagang kapak dengan gagakan
besi.
Tapi “trang!” Sekali
kapak itu berkiblat maka patahkan senjata Suranyali. Sebelum dia sempat
menjejakkan kaki di tanah, sebelum dia sanggup menjauhi lawan maka Kapak Naga
Geni 212 menderu lagi kali ini tiada ampun membabat kuntung bahu kanan
Suranyali! Laki-laki ini melolong seperti srigala haus darah! Tubuhnya limbung
menghuyung! Wiro Sableng tertawa mengekeh.
“Itu dari ayahku,
Suranyali!” katanya.
“Dan ini dari ibuku!”
Kapak Naga Geni berkiblat lagi. Suranyali coba menghindar dengan segala daya
tapi tak berhasil. Bahu kirinya terpapas mental. Darah menyembur! Sungguh
mengerikan menyaksikan tubuh Suranyali yang tanpa lengan itu!
“Yang ini dari Eyang
Sinto Gendeng, Suranyali!” kata Wiro Sableng pula dengan masih tertawa mengekeh
seperti tadi. Kapak Naga Geni sekali lagi menderu. Tubuh Suranyali mental
tersandar ke tembok Kerajaan! Dadanya sampai ke perut robek besar. Darah
membanjir dan ususnya menjela-jela. Pendekar 212 masih belum puas.
“Yang terakhir ini
dariku sendiri, Suranyali!,” katanya. Ketika Kapak Maut Naga Geni 212 itu
membelah kepala Suranyali alias Mahesa Birawa itu, tiada terdengar pekikan atau
keluh kematian dari mulutnya. Tubuhnya masih tersandar sesaat lamanya pada
tembok Kerajaan, kemudian merosot ke bawah dan tergelimpang di atas mayat-mayat
pemberontak lainnya. Tapi tubuh itu tak berada lama menggeletak di sana. Sekali
kaki kanan Wiro Sableng menendang maka mentallah tubuh musuh bebuyutannya itu
sampai belasan tombak! Wiro Sableng tertawa mengekeh, lama dan panjang.
dimasukkannya Kapak Naga Geni 212 ke balik pinggangnya. Kemudian seperti tak
ada kejadian apa-apa, seperti dia bukan berada di antara hamparan ratusan
mayat, pemuda ini melangkah seenaknya bahkan dengan bersiul!
“Saudara muda!,”
Prabu Kamandaka memburu.
“Tunggu dulu…. !”
Pendekar 212 berpaling.
“Ah…. aku sampai lupa
minta diri padamu Prabu Kamandaka….”
“Saudara, kau tak
boleh pergi dulu…”
“Kenapa?”
“Ikutlah ke istana.
Kau telah berjasa besar dan….”
“Jasa hanyalah jasa
Sang Prabu. Hanya sekedar kenang-kenangan indah. Bagiku jasa tidak berarti
mengharapkan balas imbalan. Selamat tinggal….” Prabu Kamandaka memegang bahu
pemuda itu.
“Kuharap kau sudi
datang ke istana terlebih dahulu, saudara,” katanya.
“Terima kasih Sang
Prabu, terima kasih….,” sahut pendekar 212.
“Kalau begitu beri
tahu saja namamu….” Wiro Sableng tersenyum.
“Namaku tidak penting
Sang Prabu. Cuma ingatlah angka 212. Mungkin suatu ketika angka itu akan
kembali lagi ke Pajajaran ini…. Dan satu hal…. jangan lupa sampaikan salamku
buat adikmu…. Rara Murni….”
“Akan kusampaikan”
kata Prabu Kamandaka pula., Dan semua mata kemudian menyaksikan kepergian
pendekar muda itu. Prabu Pajajaran akhirnya geleng-geleng kepala dan tarik
nafas panjang.
“Pemuda hebat….
pemuda gagah….,” katanya.
“Pajajaran berhutang
besar kepadamu. Jasamu tak akan dilupakan sampai turun temurun….”.
TAMAT
Episode
selanjutnya:
Dendam
Orang-Orang Sakti
0 komentar:
Posting Komentar